Jumat, 22 November 2024

Magister Hukum Kesehatan UHT Surabaya Beberkan Pengaruh Iuran BPJS saat Kebijakan KRIS Mulai Berlaku

Koresponden:
Alamin
Jumat, 31 Mei 2024 11:51

Ilustrasi BPJS Kesehatan/HO

DIKSI.COKelas Rawat Inap Standar (KRIS) pengganti kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan rencananya akan mulai diberlakukan di semua rumah sakit selambatnya Juni 2025 mendatang.

Diketahui KRIS merupakan kebijakan yang tercantum dalam Peraturan Presiden No 59 tahun 2024 yang dikeluarkan pada tanggal 8 Mei 2024.

Namun kebijakan tersebut masih hangat menjadi perbincangan di semua kalangan masyarakat dan belum semua masyarakat Indonesia mendapatkan kejelasan dari sistem tersebut.

Magister Hukum Kesehatan dari Universitas Hang Tuah (UHT) Surabaya, dr. Uji Hardana merespon kebijakan tersebut.

Ia berpendapat bahwa dengan adanya standarisasi kamar, akan memiliki konsekuensi baik bagi peserta BPJS maupun manajemen  keuangan rumah sakit.

Dijelaskannya, selama ini Rumah Sakit bergantung pada sistem INA CBGs yakni pembayaran yang dilakukan oleh BPJS kesehatan kepada Rumah Sakit dengan sistem paket yang dibayarkan per episode pelayanan kesehatan, yang artinya suatu rangkaian perawatan pasien sampai selesai.

Namun,menurutnya, yang menjadi persoalan yakni tarif INA CBGs ini belum naik sejak tahun 2016.

Sementara tarif iuran BPJS kesehatan telah resmi dinaikan sejak tanggal 1 juli 2020.

Ada pun besaran tarif iuran kelas 1 ditetapkan 150 ribu perbulannya, sedangkan untuk kelas II ditetapkan sebesar Rp. 100 ribu per bulan dan Iuran kelas III Rp. 42 ribu perbulan.

"Namun masyarakat tetap membayar sebesar Rp. 25.500 perbulan karena adanya subsidi pemerintah Rp. 16.000 perbulan," ujar dr. Uji Hardana.

Sehingga, ia menilai kebijakan KRIS ini akan berpotensi menimbulkan hilangnya kepesertaan terutama di kalangan kelas menengah dan kelas atas.

Masalah tu terjadi karena turunnya standarisasi bagi masyarakat kelas atas.

"Masyarakat kelas atas akan sengaja mengambil iuran kelas I dan memungkinkan tidak melanjutkan program BPJS nya karena menganggap manfaat BPJS flat. Masyarakat kelas menengah atas akan sulit bertahan dengan sistem standarisasi KRIS BPJS," ungkapnya.

Menurutnya, alasan mereka mengikuti BPJS karena ingin mendapat manfaat lebih, misalnya tidak perlu antri berlama-lama untuk mendapatkan kamar yang lebih bagus daripada kelas II dan III.

Oleh sebab itu, dr. Uji Hardana mendorong pemerintah untuk memikirkan tambahan fasilitas agar kelas menengah atas mau bertahan menggunakan BPJS.

Ia menegaskan, jika pemerintah tidak memikirkan dan tidak memberikan solusi, maka kemungkinan besar pengguna BPJS kelas menengah atas akan beralih ke asuransi kesehatan swasta.

Namun, ia juga menyebut hal tersebut mungkin tidak terjadi karena BPJS merupakan program wajib yang harus di ikuti semua masyarakat dan sudah diatur dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU BPJS.

"Kemungkinan yang akan terjadi pada masyarakat kelas menengah ke atas ialah menurunkan besaran iuran BPJSnya. Mereka mungkin akan menurunkan iuran ke kelas II dan III karena tidak ada perbedaan fasilitas dan layanan," ucapnya.

Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah untuk mencari solusi agar persoalan di atas tidak akan terjadi.

Ia juga menyinggung soal kebijakan pemerintah yang merencanakan pemotongan gaji sebesar 3%  untuk Tapera.

Untuk diketahui Tapera adalah Tabungan Perumahan Rakyat.

Dana tabungan itu sudah digagas pemerintah sejak tahun 2016.  

Kebijakan ini tertuang dalam PP nomor 21 tahun 2024 tentang perubahan atas PP nomor 25 tahun 2020 tentang penyelenggaraan Tapera yang ditetapkan Presiden pada tanggal 20 Mei 2024.

"Jika keadaan seperti ini terjadi maka besaran gaji yang diterima para pekerja akan semakin kecil karena banyaknya potongan yang seharusnya menjadi tanggungan Pemerintah sesuai dengan UUD 1945," pungkasnya.

Sebagai informasi, pada pasal 46 A Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2024 di ayat 1 menjelaskan tentang kriteria KRIS  yang terdiri dari :

- Komponen bangunan yang digunakan tidak boleh memiliki tingkat porositas yang tinggi.

- Ventilasi udara

- Pencahayaan Ruangan

- Kelengkapan tempat tidur

- Nakas per tempat tidur

-Temperatur ruangan

- Ruang rawat inap dibagi berdasarkan jenis kelamin, anak atau dewasa, serta penyakit infeksi atau non infeksi

- Kepadatan ruang rawat dan kualitas tempat tidur

- Tirai / partisi antar tempat tidur

-  Kamar mandi dalam ruangan rawat inap

- Kamar mandi memenuhi standart aksesibilitas

- Outlet oksigen

Tetapi secara jelas peraturan di atas ayat 3 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk kriteria dan penetapan kelas rawat inap standart diatur dengan Peraturan Menteri, itu berarti masyarakat masih harus menunggu Peraturan Menteri  sebagai turunan dari Perpres tersebut. (*)

 

Tag berita:
Berita terkait
breakingnews