DIKSI.CO, SAMARINDA - Wali Kota Samarinda, Andi Harun bersama pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan sidak ke Sekretariat DPD Golkar Kaltim, beberapa waktu lalu.
Tujuannya Pemkot Samarinda hendak meminta pengurus partai berlambang beringin itu mengembalikan aset milik daerah yang dikuasai sejak lama.
Langkah pemkot itu pun mendapat sanjungan dari Herdiansyah Hamzah, akademisi dari Universitas Mulawarman.
Dosen Fakultas Hukum ini menyampaikan langkah Pemkot Samarinda mengembalikan aset daerah, telah sejalan dengan upaya penertiban aset daerah yang dikuasai partai.
Terlebih pada April 2020 lalu, Kejaksaan Negeri Samarinda telah melakukan pemanggilan kepada Rudy Masud, Ketua Golkar Kaltim. Dirinya dipanggil untuk dimintai keterangan berkaitan dengan masalah aset daerah.
"Plus (adanya) surat kejaksaan ini sudah sejak April 2020. Mestinya Golkar sudah prepare sejak awal. Baru protes sekarang itu, seolah memang sengaja menghindar dari kewajiban mengembalikan aset," jelasnya.
Pemkot Samarinda sebagai pemilik aset tanah di Jalan Mulawarman itu, tertuang dalam laporan temuan BPK Kaltim.
"Mengkonfirmasi jika lahan tersebut memang adalah aset daerah. Apalagi hasil audit BPK adalah dokumen negara yang tidak perlu diragukan lagi legalitasnya," sambungnya.
Dengan kondisi itu, Castro sapaan akrab Herdiansyah Hamzah, menilai pengurus Golkar Kaltim dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Hal itu karena Golkar telah menempati dan membangun di tanah milik pemerintah, yang diketahui tanpa status jelas.
"Partai Golkar sebagai pihak ketiga yang memguasai lahan tersebut tanpa status yang jelas. Tanpa status yang jelas, maka keberadaan pihak ketiga di lokasi aset milik daerah, dapat dikualifikasikan perbuatan melawan hukum," tegasnya.
Castro juga merespon pernyataan Rudi Masud yang menyebut KPK salah sasaran dengan melakukan sidak ke Golkar Kaltim.
Padahal sudah menjadi tugas KPK untuk mendampingi daerah agar tata kelola aset dapat dilakukan dengan baik.
Castro yang juga sebagai Pengamat Hukum dan Politik Kaltim, menekankan pemkot segera melakukan penertiban aset itu.
"Semakin berlarut penertiban aset tersebut, maka akan berdampak terhadap kerugian keuangan negara yang lebih besar," tegasnya.
Sejak 2006 pasca terbitnya PP Nomor 6 Tahun 2006, sistem pinjam pakai antara pemerintah dan pihak swasta (G to B), tidak lagi dikenal dalam skema pengelolaan barang milik daerah.
Sistem pinjam pakai hanya berlaku antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, atau antar pemerintah daerah (G to G).
Regulasi ini tetap sama hingga diterbitkannya PP Nomor 27 Tahun 2014 juncto PP 28 Tahun 2020, tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Dalam regulasi itu, skema yang memungkinkan dilakukan oleh Partai Golkar jika ingin tetap berada di lokasi tersebut, adalah dengan sistem sewa.
Itupun dengan catatan dikembalikan terlebih dahulu sepenuhnya kepada Pemkot Samarinda.
"KPK sudah sangat eksplisit mendorong agar aset milik daerah yang dikuasai oleh pihak ketiga, harus segera dikembalikan. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi permasalahan hukum dikemudian hari," pungkasnya. (tim redaksi Diksi)