"Ini memperlihatkan wajah asli kekuasaan yang gemar menggusur dan mengambil alih tanah rakyat atas nama pembangunan," kata Castro lagi.
Tindakan semena-mena pemerintah saat ini kembali mengingatkan aktivis dan akademisi tentang rezim Orde Baru yang represif dan menghalakan segala cara.
"Ini adalah bentuk intimidasi. Upaya pembongkaran paksa dan paksaan terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk meninggalkan tanah leluhur yang menjadi ruang hidup mereka merupakan bentuk pelanggaran hak masyarakat lokal dan masyarakat adat atas hak hidup, hak atas ruang hidup, hak perlindungan atas kepemilikan atas tanah dan hak atas pemukiman warga," tambahnya.
Menurut koalisi, masyarakat lokal dan masyarakat adat merupakan bagian kelompok rentan yang mana seharusnya menjadi titik balik pemerintah melakukan hal terbalik. Seperti pengakuan dan pemberian ruang hidup, bukan malah sebaliknya dengan merampas untuk pembangunan proyek ambisius.
Selain itu, koalisi juga menyoal dokumen Tata Ruang yang dibentuk tanpa partisipasi masyarakat lokal dan masyarakat adat. Sehingga dokumen dinilai cacat secara hukum.
"Kami menyerukan kepada seluruh rakyat, untuk membangun solidaritas bersama. Hanya dengan cara bersatulah, keputusan penguasa yang menindas dan tidak memihak rakyat, bisa kita lawan," tandasnya.
Untuk diketahui Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur yang saat ini tegas menentang penggusuran terdiri dari Jatam Kaltim, KIKA Kaltim, AJI Samarinda, LBH Samarinda, Aksi Kamisan Kaltim, SAKSI FH Unmul, PEMA Paser, POKJA 30, PuSHPA FHUNMUL, Pus-HAMMT UNMUL, TKPT, AMAN Kalimantan Timur, PUSDIKSI FH UNMUL, Nomaden Institute, Sambaliung Corber, dan Perempuan Mahardhika. (tim redaksi)