DIKSI.CO, BALIKPAPAN - Koalisi #BersihkanIndonesia mendesak pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) untuk membuka dokumen Kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) milik PT Arutmin, PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Berau Coal (BC), PT Kideco Jaya Agung (KJA), dan PT Multi Harapan Utama (MHU) serta daftar nama tim evaluatornya.
Hal ini dilakukan oleh koalisi yang terdiri atas JATAM, WALHI Kalsel, JATAM Kaltim, dan Trend Asia, jelang Hari Hak untuk Tahu Sedunia (The International Right To Know Day) yang jatuh pada 28 September 2020.
Diketahui, Direktur Direktorat Pembinaan Pengusahaan Batubara di Kementerian ESDM mengaku tengah memproses evaluasi kontrak dan sudah menerima permohonan perpanjangan operasi sejumlah perusahaan.
JATAM Kaltim pun telah melayangkan surat permohonan informasi sesuai ketentuan undang-undang Keterbukaan Informasi Publik No 14 Tahun 2008 pada 2 September 2020 lalu, dan telah menerima bukti tanda terima surat pada 8 September 2020 dari Kementerian ESDM.
"Karena itulah kami merasa penting untuk mendesak pemerintah transparan, terbuka pada publik, terutama bagi masyarakat yang mengalami dampak buruk akibat operasi perusahaan-perusahaan pertambangan tersebut," ujar Dinamisator JATAM Kaltim, Pradarma Rupang, melalui konferensi pers via Zoom, Minggu (27/9/2020).
Sesuai UU Keterbukaan Informasi Publik, data-data tersebut termasuk dalam kategori data publik yang dapat kapan saja diakses dan dibuka pada masyarakat luas.
"Masyarakat sekitar terdampak tambang dan masyarakat sipil telah memiliki sejumlah catatan panjang mengenai rekam jejak sejumlah perusahaan itu di lapangan," kata Rupang.
"Kami juga ingin tahu apakah masyarakat juga diajak bicara saat melakukan evaluasi termasuk siapa saja daftar nama tim evaluatornya, apa ada anggota tim yang konflik kepentingan, apakah melibatkan wakil dan komponen masyarakat korban, seberapa independen tim ini?" lanjutnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur WALHI Kalsel Kisworo Dwi Cahyono, meminta pemerintah untuk evaluasi terhadap sejumlah perusahaan pemegang PKP2B tak hanya berbasiskan pada hal-hal yang sifatnya administratif.
"Perusahaan-perusahaan itu memiliki segudang kejahatan, mulai dari kasus pencemaran, perampasan lahan, kekerasan, dan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk persoalan reklamasi dan rehabilistasi lubang tambang yang tidak dilakukan," ujarnya.
Kisworo menilai data-data ini harusnya menjadi instrumen penting dalam melakukan evaluasi, jika tidak maka dikhawatirkan evaluasi yang diselenggarakan hanya formalitas, apalagi tertutup malah berpotensi menjadi ruang baru transaksi yang koruptif.
Sementara itu, Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry yang mewakili #BersihkanIndonesia menilai, permohonan informasi ini menjadi penting sebagai bagian dari upaya mendorong kebijakan energi Indonesia yang berorientasi bersih, pro lingkungan hidup serta menjamin keselamatan rakyat.
"Selama ini publik tidak pernah mengetahui apa saja hak dan kewajiban 5 perusahaan tersebut dan sudah sejauh apa kewajiban mereka sebagai pemegang kontrak dipatuhi dan dilaksanakan, termasuk perkembangan evaluasinya," katanya.
"Jangan sampai ujuk-ujuk diberi status perpanjangan tanpa keterbukaan informasi, pemerintah harus membukanya ke publik," tegasnya. (tim redaksi Diksi)