DIKSI.CO - Pemilihan kepala daerah (Pilkada) akan diselenggarakan secara serentak pada November 2024 mendatang.
Jelang pesta demokrasi lima tahunan, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024.
Selain itu MK juga memutuskan bahwa syarat usia calon kepala daerah dihitung sejak penetapan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah oleh KPU.
Putusan MK tersebut mendapat beragam reaksi dari berbagai kalangan masyarakat.
Constitutional and Administrative Law Society (CALS) menduga Presiden Joko Widodo dan Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM+) akan melakukan upaya pengabaian dua Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru terkait ambang batas partai politik untuk mengusung calon kepala daerah dan penghitungan syarat usia calon kepala daerah dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada).
Hal ini diutarakan CALS dalam rilisnya dengan judul "Melawan Pembangkangan Konstitusi Presiden Joko Widodo dan Partai Pendukungnya yang Mendelegitimasi Pilkada 2024" pada (21/8/2024)
Berikut rilis lengkap Constitutional and Administrative Law Society:
Presiden Joko Widodo dan Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM+) ditengarai hendak menghalalkan segala cara untuk mempertajam hegemoni kekuasaan koalisi gemuk dan gurita dinasti politik dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2024 (Pilkada 2024) dengan mengabaikan dua Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terbaru terkait ambang batas partai politik untuk mengusung calon kepala daerah dan penghitungan syarat usia calon kepala daerah dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada). Upaya pengabaian ini dilakukan untuk mengakali Pilkada 2024 agar di sejumlah daerah, terutama Daerah Khusus Jakarta, dapat didominasi KIM+ tanpa kandidat kompetitor yang riil, dan memuluskan jalan putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk mencalonkan sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah meskipun belum memenuhi syarat usia pencalonan kepala daerah.
Pengabaian tersebut akan dijalani oleh Presiden dan DPR dengan merevisi sejumlah ketentuan UU Pilkada dalam waktu singkat dan serampangan guna menganulir garis-garis batas konstitusional yang diterbitkan MK, yang direncanakan pada hari Rabu, 21 Agustus 2024. Pada Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024,
tanggal 20 Agustus 2024, MK menafsirkan Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang semula mengatur persyaratan ambang batas pengusungan pasangan calon kepala daerah berdasarkan perolehan kursi dan suara di Pemilu DPRD, menjadi berdasarkan perolehan suara sah dalam pemilu pada provinsi/kabupaten/kota berdasarkan rasio jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap, dengan persentase yang setara dengan persentase pada pencalonan perseorangan. Ketentuan tersebut memberikan keadilan dan kesetaraan kompetisi bagi seluruh partai politik, baik yang memperoleh kursi di DPRD maupun yang tidak memperoleh kursi di DPRD, serta membuka peluang hadirnya calon kepala daerah alternatif untuk bertanding melawan dominasi koalisi gemuk.
Sementara itu, pada Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024, MK menegaskan bahwa secara historis, sistematis, praktik selama ini, dan perbandingan dengan pemilihan lain, syarat usia pencalonan kepala daerah dihitung dari titik sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, bukan saat pelantikan pasangan calon terpilih, sebagaimana anomali yang ditetapkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024. Artinya, putusan ini dapat menggulung karpet merah bagi putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk mencalonkan sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah yang belum memenuhi syarat usia saat penetapan pasangan calon.
Presiden Joko Widodo beserta segenap partai politik pendukungnya tengah mempertontonkan pembangkangan konstitusi dan pamer kekuasaan yang eksesif tanpa kontrol yang berarti dari lembaga legislatif, seolah ia merupakan hukum, bahkan melebihi hukum dan sendi-sendi konstitusionalisme. Rezim yang otokratis ini kembali melanggengkan otokrasi legalisme untuk mengakumulasikan kekuasaan dan mengonsolidasikan kekuatan elit politik hingga ke level pemerintahan daerah. Upaya demikian mendelegitimasi Pilkada 2024 sejak awal, sebab aturan main Pilkada diakali sedemikian rupa untuk meminimalisasi kompetitor dengan menutup ruang-ruang kandidasi alternatif, memborong dukungan koalisi gemuk partai politik, dan memunculkan kandidat boneka agar mengesankan kontestasi pilkada berjalan dengan kompetisi yang bebas, adil, dan setara. Masih lekat di benak masyarakat bagaimana Pemilihan Umum Tahun 2024 dibangun dengan fondasi manipulasi, pelanggaran hukum, dan pelanggaran etika yang terstruktur, sistematis, dan masif. Presiden Joko Widodo dan partai pendukungnya menggunakan cetak biru serupa untuk melanggengkan dinasti politik yang dilanjutkan oleh putranya, melalui perombakan hukum secara instan dengan menyalahgunakan institusi demokrasi, yaitu mengotak-atik syarat usia calon kepala daerah agar sesuai dengan figur yang akan diusung.
Pembangkangan konstitusi oleh Presiden Joko Widodo dan partai politik pendukungnya harus dilawan demi supremasi konstitusi dan kedaulatan rakyat.Oleh karena itu, Constitutional and Administrative Law Society menyerukan:
1. Presiden dan DPR menghentikan pembahasan Revisi UU Pilkada dan mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024;
2. KPU menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XXII/2024, tanggal 20 Agustus 2024;
3. Jika Revisi UU Pilkada dilanjutkan dengan mengabaikan Putusan Mahkamah Konstitusi, maka segenap masyarakat sipil melakukan pembangkangan sipil untuk melawan tirani dan autokrasi rezim Presiden Joko Widodo dan partai politik pendukungnya dengan memboikot Pilkada 2024.
(*)