DIKSI.CO - Rancangan perubahan keempat Undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK) menuai penolakan dari sejumlah kalangan, tak terkecuali Constitutional and Administrative Law Society (CALS).
Mereka melayangkan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo, Ketua DPR RI, Puan Maharani tentang penolakan rancangan perubahan keempat Undang-undang MK tersebut.
Surat terbuka yang menyatakan penolakan dari akademisi ini diumumkan pada Jumat (17/5/2024).
“Surat Terbuka ini merupakan penolakan keras kami, kelompok akademisi hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society [CALS], atas Rancangan Perubahan Keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK),” tulis pers rilis CALS yang diterima media ini..
Langkah ini, lanjut rilis tersebut, merupakan autocratic legalism yang merusak bangunan negara hukum, demokrasi, dan mengancam independensi Mahkamah Konstitusi (MK).
Di masa lame duck (bebek lumpuh) atau mendekati transisi estafet pemerintahan periode selanjutnya, tidak seharusnya DPR dan Presiden melakukan pembahasan dan mengesahkan RUU yang krusial bagi kekuasaan kehakiman.
“Rancangan Perubahan Keempat UU MK mengandung masalah prosedural dan masalah materiil yang berbahaya. Masalah prosedural pertama, perubahan terhadap UU MK kerap bersifat reaksioner dan tidak dilakukan dengan perencanaan yang matang,” tegasnya.
“Dalam hal ini, perencanaan Perubahan Keempat UU MK tidak terdaftar dalam daftar panjang Program Legislasi Nasional Tahun 2020-2024 dan tidak terdaftar dalam Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2024 atau pun dalam daftar kumulatif terbuka tahun 2024. Kedua, di samping itu, pembahasan pada Pembicaraan Tingkat I dilakukan secara senyap, tertutup, dan tergesa-gesa. Terdapat satu fraksi yang tidak dilibatkan, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan juga sejumlah anggota Komisi III DPR tidak mengetahui adanya pembahasan Perubahan Keempat UU MK pada Pembicaraan Tingkat I,” bebernya.
Ketiga, DPR dan Presiden pun mengabaikan partisipasi yang bermakna (meaningful participation), sebab kanal partisipasi publik ditutup dan dokumen perancangan undang-undang seperti RUU dan naskah akademik tak dapat diakses secara formal oleh publik.
Keempat, pembahasan memanfaatkan masa lame duck (bebek lumpuh) atau masa transisi menuju pemerintahan periode baru untuk segera mengesahkan Perubahan Keempat UU MK.
Kelima, pembahasan dilakukan di masa reses, bukan di masa sidang. Seharusnya, DPR fokus untuk menyerap aspirasi konstituen pada masa tersebut, bukan kebut-kebutan membahas undang-undang yang krusial bagi masa depan kekuasaan kehakiman.
Menilik materi muatan, Perubahan Keempat UU MK sejatinya tak berorientasi pada penguatan MK, melainkan untuk membajak independensi MK beserta Majelis Kehormatan MK. Pertama, dalam satu dekade terakhir, perubahan terhadap UU MK, baik di UU Nomor 8 Tahun 2011, UU Nomor 4 Tahun 2014 yang dibatalkan seluruhnya, UU Nomor 7 Tahun 2020, dan Rancangan Perubahan Keempat UU MK ini lebih banyak mengotak-atik masa jabatan hakim konstitusi. Perubahan terhadap UU MK belum menyentuh pokok-pokok yang krusial bagi penguatan kewenangan dan kelembagaan MK, seperti: (1) perumusan standardisasi yang setara pada tiga lembaga pengusul; (2) penguatan kewenangan MK melalui constitutional complaint dan constitutional question; (3) pembaruan hukum acara MK; (4) pengetatan penegakkan etik hakim konstitusi; (5) jaminan keamanan masa jabatan bagi hakim konstitusi.
Kedua, kami melihat terdapat indikasi untuk mengotak-atik konfigurasi hakim konstitusi agar terisi jajaran yang lebih sesuai dengan kehendak DPR dan Presiden.
Pasal 23A ayat (2), (3), dan (4) Perubahan Keempat UU MK menjadi dasar recall (penarikan kembali) hakim konstitusi dengan mekanisme evaluasi per lima tahun oleh lembaga pengusul. Pengaturan ini seolah hendak mengancam independensi dan imparsialitas kewenangan konstitusional MK, sebab hakim konstitusi akan dependen
pada kehendak lembaga pengusul.
DPR dan Presiden perlu memahami bahwa MK merupakan lembaga negara yang memainkan peran checks and balances terhadap kekuasaan eksekutif dan legislatif serta berkedudukan sejajar dengan Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung, bukan bersifat subordinat terhadap lembaga pengusul, sehingga praktik recall tidak dapat dibenarkan. Di negara demokrasi konstitusional modern pun, tidak pernah ada praktik demikian dan tidak pernah diwajarkan.
Ketiga, kami menemukan bahwa upaya intervensi terhadap MK tak hanya pada masa jabatan dan penyelenggaraan kewenangan saja, melainkan juga pada lembaga penegak etiknya. Pasal 27A Perubahan Keempat UU MK menambahkan tiga personil Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang diusulkan oleh tiga lembaga pengusul.
Konfigurasi demikian potensial mempersempit ruang bagi MKMK untuk lebih independen mengawasi kinerja sembilan hakim konstitusi, sehingga semakin mudah diintervensi oleh lembaga pengusul di masa depan.
Keempat, Pasal 87 Perubahan Keempat UU MK menjadi aturan peralihan yang mengindikasikan adanya upaya untuk menyaring hakim konstitusi incumbent, yaitu dengan mengatur perlunya persetujuan lembaga pengusul bagi: (a) hakim konstitusi yang telah menjabat lebih dari lima tahun dan kurang dari sepuluh tahun untuk melanjutkan masa jabatannya; dan (b) hakim konstitusi yang telah menjabat melebihi sepuluh tahun untuk melanjutkan masa jabatan hingga usia 70 (tujuh puluh) tahun.
Untuk melanjutkan sisa masa jabatan, terdapat lima hakim konstitusi yang harus memperoleh restu dari lembaga pengusul, yang mana sarat akan konflik kepentingan.
Aturan peralihan ini problematik karena berlaku surut bagi hakim konstitusi yang saat ini menjabat. DPR dan Presiden perlu mengingat pesan dalam Putusan MK Nomor 81/PUU-XXI/2023, 29 November 2023, bahwa perubahan substansi undangundang tidak boleh merugikan subjek yang menjadi adresat dari substansi perubahan
undang-undang dimaksud. Dalam konteks ini, perubahan ini tidak boleh merugikan hakim konstitusi yang sedang menjabat. Selain itu, tidak terdapat fairness (keadilan) dalam penerapan ketentuan ini, sebab empat hakim konstitusi lainnya yang menjabat di bawah lima tahun tidak melewati mekanisme serupa.
Dengan demikian, hal ini semakin menguatkan syak wasangka bahwa Rancangan Perubahan Keempat UU MK
ditujukan untuk pembersihan hakim konstitusi.
“Berdasarkan penjelasan di atas, kami dengan tegas MENOLAK Rancangan Perubahan Keempat UU MK untuk disahkan dalam rapat paripurna,” tandasnya.
Oleh karena itu, CALS menyatakan sikap sebagai berikut:
1. DPR dan Presiden tidak meninggalkan warisan yang buruk dengan menghentikan pembahasan dan tidak mengesahkan Rancangan Perubahan Keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi karena substansinya mengancam prinsip-prinsip negara hukum, demokrasi, dan independensi Mahkamah Konstitusi;
2. DPR dan Presiden menyusun undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi yang komprehensif dan berorientasi pada penguatan kelembagaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menjaga konstitusi dan melindungi hak-hak konstitusional warga negara dengan perencanaan yang memadai dan kajian akademis yang mumpuni, serta memperhatikan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). (*)