DIKSI.CO, SAMARINDA - Konflik Tenutorial masyarakat adat dengan perusahaan sawit di Kutai Timur kembali mengemuka. Seperti diketahui perseteruan yang melibatkan masyarakat adat Dayak Modang Long Wai, Desa Long Bentuq, Kecamatan Busang, Kabupaten Kutai Timur dengan perusahaan sawit PT Subur Abadi Wana Agung (PT SAWA) ini kembali disuarakan kepada anggota DPD RI.
Dikatakan Koordinator Kelompok Kerja alias Pokja 30, Buyung Marajo jika hal ini dilakukan sebagai upaya agar masyarakat adat kembali mendapatkan hak-hak mereka dari perusahaan industrial yang terus menggerus.
"Ini adalah upaya-upaya yang coba ditempuh. Dan intinya audiensi kemarin, pihak DPD RI akan coba melakukan pemanggilan kepada pihak yang diadukan, seperti Pemkab Kutim, perusahaan dan lembaga vertikal seperti ATR/BPN," jelas Buyung saat dikonfirmasi ulang, Kamis (2/9/2021).
Kendati berjanji akan menindaklanjuti aduan masyarakat adat Dayak Modang ini, namun sikap perwakilan DPD RI dinilai dingin, sebab memberikan jawaban normatif tanpa memberikan target kerja, yakni kapan tepatnya pihak terkait akan dipanggil.
"Ya terkesan normatif. Dan pastinya ini akan kami kawal. Apakah DPD akan serius atau tidak merespon keluhan masyarakat adat ini," imbuhnya.
Sementara itu, Sekretaris Adat Dayak Modang, Benediktus Benglui menyampaikan lebih jauh jika audiensi telah dilakukan pihak perusahaan dengan masyarakat yang diinisi Pemkab Kutim.
Namun tiga hari pasca pertemuan, muncul peta wilayah yang diterbitkan dengan dasar SK Bupati medio 2015 dengan dugaan spesifikasi telah mengecilkan wilayah Desa Long Bentuq.
Padahal menurut Benglui, tapal batas wilayah adat sudah memiliki putusan pada medio 1993 dan pasca pemekaran Kabupaten Kutim yang mana belum pernah diubah.
"Harusnya pembuat kebijakan mengacu dokumen sejarah sebagai alat ukur keluarnya kebijakan. Tapi nyatanya tidak," ujar mantan Kepala Desa Long Bentuk ini.
Sebagai bentuk kompensasi agar gesekan tidak terus terjadi. Akan tetapi, disebutkan jika perusahaan memaksa warga menerima plasma 80:20 sebagai kompensasi penggusuran tanah adat.
"Jelas kami tidak mau. Karena jika dilihat dari aset kampung seperti kayu dan air itu tidak sebanding dengan tawarannya," imbuhnya.
Sejak invansi alat berat dan hutan sawit yang menggerus tanah adat, dikatakannya pula jika masyarakat kehilangan hasil buruan dan sulit melakukan proses cocok tanam.
Demi memperjuangkan tanah nenek moyang ini, pelbagai upaya telah dilakukan. Mulai dari bersurat kepada Komnas HAM, KLHK dan Ombudsman telah dilakukan.
Tak berhenti di situ, masyarakat bahkan sempat melakukan aksi protes dengan menggelar beberapa kali aksi demonstrasi. Namun hal ini justru berbuntut petaka. Sebab tiga di antaranya dipolisikan dengan dugaan merusak fasilitas umum.
Dengan sederet konflik masyarakat dengan perushaan pasalnya pemerintah coba menengahi. Namun hadirnya pemerintah masih dinilai belum mengedepankan keadilan bagi masyarakat adat.
"Upaya Pemkab Kutim memang ada. Tapi tidak memberikan keputusan yang adil dan hanya mengikuti pola plasma yang kami tolak," tegasnya.
Maka dari itu, Benglui sangat mengharapkan adanya respon adil dari DPD RI yang sempat melakukan dialog.
"Tentu kami berharap adanya keadilan," tandasnya .
Diwartakan sebelumnya, konflik perusahaan kelapa sawit dengan masyarakat adat seolah tak pernah berhenti dan selalu terjadi. Bahkan diketahui pula, kehadiran PT SAWA melalui Surat Keputusan Bupati Kutai Timur Nomor 22/02.188.45/HK/I/2006 tentang izin lokasi perkebunan seluas 14.350 hektare di Kecamatan Busang pada 2006 silam.
Dari luasan tersebut, masyarakat adat dayak mengecam sebab sekira 4.000 hektare pengerjaan perusahaan menggaruk lahan hutan adat mereka yang berdampak pada rusaknya sumber daya alam yang menjadi sumber kehidupan masyarakat lokal.
Perseteruan ini pasalnya semakin memanas saat peristiwa penutupan akses jalan yang dilakukan oleh masyarakat adat Dayak Modang pada 30 Januari 2021 lalu yang menuntut keadilan mereka kepada perusahaan, dan justru berujung pada penangkapan tiga tokoh masyarakat oleh jajaran Polres Kutim.
Pemerintah Kabupaten Kutai Timur yang seharusnya menjadi pengayom dan memiliki kewajiban untuk mensejahterakan masyarakat justru dinilai gagal paham tentang kasus masyarakat adat Dayak Modang Long Wai di Desa Long Bentuq. Masyarakat tidak sedang menuntut plasma dan kemitraan, akan tetapi tapi pengembalian hak adat dan pemulihan lingkungan di wilayah adat Desa Long Bentuq.
Ketidak berpihakan Pemerintah Daerah Kutai Timur itu dibuktikan dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Tahun 2015 Nomor 130/K 905/2015 tentang Penetapan Batas Administrasi antar Desa Long Bentuk, Desa Rantau Sentosa, Desa Long Pejeng Kecamatan Busang dan Desa Long Tesak di Kecamatan Muara Ancalong, Kabupaten Kutai Timur. (tim redaksi Diksi)