DIKSI.CO, KUKAR - Nasib Edi Damansyah di pentas pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kutai Kartanegara (Kukar) hampir dipastikan tak bisa berlanjut.
Sebagai petahana di Kukar, Edi Damansyah masih berupaya memastikan langkahnya ke gelanggang kontestasi Pilkada 2024.
Namun dengan terbitnya PKPU Nomor 8 tahun 2024 tentang pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota untuk Pilkada 2024 akan menjadi hambatan bagi Edi Damansyah untuk kembali bertarung di Pilkada Kukar.
Pengamat Hukum yang juga akademisi di Universitas Mulawarman (UNMUL), Warkhatun Najidah S.H., M.H., turut memberikan pandangannya terkiat hal ini.
Menurutnya, petahana di Pilkada Kukar sudah harus mengembangkan karir politiknya ke ranah yang lebih tinggi.
Bukan hanya mempertimbangkan suara PDIP dan elektabilitasnya, tetapi dalam perspektif hukum untuk kembali maju pada Pilkada Kukar, petahana tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam PKPU 8/2024 pasal 14 huruf m dan 19.
“Artinya sudah jelas dalam aturannya kan, bahwa belum memenuhi syarat,” sebutnya, Rabu (3/7/2024).
Najidah juga memberikan pandangan hukumnya, bahwa PKPU 8/2024 jelas mengikuti aturan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Frasa “menjabat” yang diperdebatkan selama ini dalam pandangan Najidah juga dijelaskan.
“Sudah clear, bahwa menurut saya PKPU 8/2024 tentang pencalonan kepala daerah (pasal 14 dan pasal 19) jelas mengikuti putusan MK, di mana MK juga berpendapat bahwa berdasarkan amar Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kemudian dikuatkan kembali dalam putusan 67/PUU-XVIII/2020, makna kata ‘menjabat’ dimaksud telah jelas dan tidak perlu dimaknai lain selain makna dimaksud dalam putusan tersebut,” ungkapnya.
Sehingga, kata ‘menjabat’ lanjut Najidah, adalah masa jabatan yang dihitung satu periode yaitu masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari satu masa jabatan kepala daerah.
“Kita tidak bisa memaknai sebuah peraturan dengan cara yang liar kendatipun pendapat nampak logis. Tetapi logika hukum memiliki karakteristik sendiri,” ujarnya.
Memang benar Undang-Undang (UU) Pemerintah Daerah mengatur dengan membedakan antara Plt/PJS/Plh/Pj Kepala daerah.
Namun frasa dalam Undang-Undang (UU) Pilkada dan PKPU tersebut memfokuskan pada frasa “menjabat”.
Pemaknaan ini sudah klir menurut Najidah. Hanya merujuk pada “pejabat” tanpa dibedakan pejabat sementara atau definitif.
KPU juga harus mempertimbngkan bahwa subyek dari peraturan ini adalah “pejabat daerah“.
“Pertimbangan hukum bukan hanya bersandar pada UU Pilkada tetapi juga harus melihat pada UU Administrasi Pemerintahan,” tegas Najidah.
Ia mengajak membaca pasal 1 angka 3 UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Pada penjelasannya, yang dimaksud dengan pejabat yaitu Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.
Jelas pada hal ini pejabat dikatakan pejabat atau dikatakan menjabat adalah pada saat ia mulai menjalankan fungsi pemerintahan.
“Titik tekan pemaknaan adalah pada kata ‘unsur yang melaksanakan fungsi’. UU Pilkada mengatur sedemikian rupa terkait dengan syarat pencalonan tidak dimaksudkan untuk meniadakan hak dipilih seseorang sebagai hak konstitusional,” jelasnya.
“Tetapi justru menghindarkan pada kepemimpinan lokal yang bertumpu pada satu orang atau golongan dalam waktu yang lama,” sambung Najidah.
Untuk itu, Najidah mengungkapkan, hendaknya hal ini juga menjadi perhatian bagi partai politik untuk memperhatikan regenerasi kepemimpinan di internalnya.
(*)