DIKSI.CO, SAMARINDA - Terorisme di Indonesia saat ini masih jadi pekerjaan rumah yang mesti dibenahi.
Untuk kelompok terorisme di Indonesia, diyakini masih usung ideologi yang berbasis kekerasan dengan ciri ideologi teroris yaitu intoleransi, tidak bisa menerima perbedaan dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Demikian seperti disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi DR Boy Rafli Amar, saat bertemu dengan tokoh agama dan keluarga penyintas terorisme di Kaltim.
Pertemuan itu dilakukan di Hotel Mercure Samarinda, Sabtu (18/9/2021).
"Karakter itulah yang diusung oleh terorisme. Jeleknya kelompok terorisme ini mengusung slogan-slogan agama. Itu yang kita sayangkan. Karena semua agama tentu memiliki cinta kasih dan semangat untuk mengasihi satu sama lainnya, serta menghormati perbedaan," ujar Boy.
Ditambahkan Kepala BNPT, kelompok terorisme karakternya merasa paling superior dan ketika ada perbedaan prinsip, maka dianggap sebagai lawan. Pengaruh arus globalisasi saat ini, terorisme selalu mengedepankan perbedaan-perbedaan tersebut. Padahal, tegasnya, Indonesia kaya akan perbedaan. Jika perbedaan tidak disikapi dengan bijak, maka perbedaan Indonesia dapat menjadi bencana.
"Seperti yang terjadi Kaltim pada 2016 silam ketika Gereja Oikumene di Samarinda diledakkan. Itu adalah wujud dari orang-orang intoleran, orang-orang yang sudah tersusupi alam pikirannya untuk mengadu domba diantara warga Indonesia dengan keyakinan yang menurut mereka adalah sebuah kebenaran. Padahal itu adalah sebuah kekeliruan," tegas Boy.
Ia mengakui kasus terorisme dan intoleransi terus saja terjadi.
Seperti misalnya, pengeboman Gereja di Makassar dan terorisme di Mabes Polri. Kasus ini merupakan bukti bahwa propaganda jaringan terorisme terus menebar tindakan-tindakan kebencian.
Ia lanjutkan, menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa, ada 120 negara di dunia yang terkena dampak propaganda teroris.
Tingginya angka ini karena arus globalisasi dimana orang, khususnya anak muda dalam menggunakan sosial media.
Dikatakannya, saat ini ada sekitar 202 juta pengguna internet di Indonesia. Dari 202 juta pengguna internet ini, 80 persen sebagai pengguna media sosial, dimana 60 persennya adalah anak muda. Generasi Z, generasi milenial.
"Nah kelompok terorisme ini senang sekali merekrut anak-anak muda yang mereka anggap berani, idealis dan sedang mencari jati diri. Generasi milenial ini dengan mudah mengikuti, mem follow akun-akunnya, terus update sampai pintar membuat surat wasiat (siap mati) untuk orang tuanya saat akan menjalankan aksinya. Itulah akhirnya dia menjadi pelaku bom bunuh diri," cerita Boy.
Kegiatan Pelibatan Masyarakat "Kolaborasi Penyintas" dalam pencegahan terorisme melalui Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltim, selain menghadirkan keluarga dan korban Gereja Oikumene, juga ada satu keluarga kasus bom Desa Loki, Ambon pada tahun 2005 silam, dimana saat itu terdapat 6 orang anggota Brimob Polda Kaltim gugur dalam tugas.
Pertemuan ini menjadi mengharukan, karena keluarga penyintas bom gereja Oikumene membawa hadir anak-anak mereka yang selamat dari luka-luka berat yang diderita. (tim redaksi Diksi)