DIKSI.CO, SAMARINDA - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Samarinda meminta penjelasan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Samarinda terkait dugaan pelanggaran form A.B-KWK yang tidak diberikan Panitia Pemungutan Suara (PPS) kepada Panwaslu Kelurahan/Desa (PKD) di masing-masing Kecamatan yang pada dasarnya tertuang dalam PKPU 19 pasal 12 ayat 11.
Komisioner Bawaslu Samarinda, Daini Rahmat mengaku tidak puas atas jawaban KPU Samarinda yang menurutnya tidak relevan. KPU Samarinda berpatok pada surat edaran (SE) yang dikeluarkan KPU RI.
"Menurut kami surat edaran itu tidak bisa mengenyampingkan PKPU. Karena PKPU secara hirarki hukum lebih tinggi daripada surat edaran," tegas Deden sapaan akrabnya saat dihubungi melalui sambungan telepon seluler, Selasa (8/9/2020).
Menurut Deden yang menjabat sebagai Divisi Hukum, dalam surat edaran tersebut tidak ada yang salah.
Namun, apa yang belum diatur dalam surat edaran maka akan diatur di PKPU 19 pasal 12 ayat 11.
"Jadi tidak ada perdebatan. Cuma tafsiran hukum khususnya di KPU Samarinda menurut saya ya ini agak sedikit gimana gitu," ucapnya.
Tindaklanjut penanganan dugaan pelanggaran tersebut nantinya akan dibahas kembali antara Bawaslu Samarinda dan KPU Samarinda.
"Jadi sebenarnya sih deadlock (jalan buntu) cuma tadi diberikan solusi untuk internal KPU dan Bawaslu membicarakan dalam forum lain. Jadi kami ini menunggu KPU mengundang Bawaslu berbicara terkait itu," pungkasnya.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Samarinda panggil 55 orang ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) di masing-masing Kecamatan.
Pemanggilan PPS lantaran adanya dugaan pelanggaran administrasi dalam tahapan Pilkada
Hal ini disampaikan Ketua Bawaslu Kota Samarinda, Abdul Muin. Disebutkan Abdul Muin, pihaknya memanggil seluruh PPS yang ada di Samarinda kecuali 4 PPS di Kecamatan Samarinda Utara.
"Ada 55 PPS dari total 59 PPS yang ada, kecuali 4 PPS di Samarinda Utara," kata Muin sapaannya saat dihubungi awak media, Selasa (8/9/2020).
Dugaan pelanggaran administrasi tersebut ditemukan pada saat rapat pleno Daftar Pemilih Hasil Pemutakhiran (DPHP) tingkat Kelurahan beberapa waktu lalu, PPS tidak memberikan salinan formulir model A.B-KWK yaitu Daftar Perubahan Pemilih Hasil Pemutakhiran kepada pengawas Kelurahan.
"Kami anggap bahwa dengan tidak diberikannya data itu ada indikasi tidak ada azaz keterbukaan," ucapnya.
Padahal menurut Muin, hal itu tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 19 Tahun 2019 terkait Pemutakhiran Data dan Penyusunan Daftar Pemilih pada 12 ayat (11).
Jika formulir model A.B KWK tersebut tidak diberikan maka Bawaslu tidak bisa melakukan pencermatan karena tidak mengantongi data.
"Sehingga PPS dipanggil untuk diminta klarifikasinya. Mulai pagi tadi sampai jam 3 atau 4 sore nanti, banyak yang kami panggil, bergantian," terangnya.
Proses klarifikasi yang dilakukan Bawaslu merupakan mekanisme penanganan pelanggaran yang harus tempuh sesuai Perbawaslu Nomor 14 Tahun 2017 bahwa setiap adanya dugaan pelanggaran baik itu laporan atau temuan maka menjadi keharusan untuk ditindaklanjuti.
"Ini Sop yang harus kami lakukan ubtuk menjdai alat bukti. Tentu ada sanksi, yakni administrasi sesuai dan juga sudah diatur dalam PKPU 19 tentang pelanggaran administrasi di KPU," pungkasnya. (tim redaksi Diksi)