Rabu, 4 Desember 2024

Catatan Kecil dari Sonny Majid: Dinamika Pilkada 2024 Antara Pembegalan dan Mekanisme Demokrasi untuk Kemaslahatan Publik

Catatan Kecil dari Sonny Majid Soal Dinamika Pilkada 2024

Koresponden:
Alamin
Kamis, 10 Oktober 2024 2:14

MENJELASKAN - Sonny Majid/ IST

Narasi itu tidak benar adanya. Kenapa demikian? Saya rasa Undang-Undang (UU) tentang Otonomi Daerah sudah cukup jelas, bagaimana mengatur kewenangan antara kekuasaan di pusat dengan kekuasaan lokal.

Akibat lemparan isu tersebut, justru mempersempit ruang kritik publik terhadap dinamika itu sendiri. Ditambah lagi skenario tersebut memicu peta kompetisi politik di daerah menjadi tidak setara.

Tegasnya begini, rekan-rekan yang bertugas sebagai pengawas pemilu (Bawaslu dengan segala stakeholdernya) juga punya beban sebagaimana dikemukakan di awal, bahwa pilkada harus diperjuangkan menjadi mekanisme demokrasi yang memperjuangkan kemaslahatan publik. Pilkada tidak bisa menjadi panggung drama bagi “mereka-mereka” yang pragmatis bahkan aji mumpung.

Eksistensi pilkada harus dianggap sebagai aktualisasi otonomi daerah (desentralisasi politik) yang diharapkan mampu mengantarkan daerah dalam tujuan otonomi daerah itu sendiri, yakni kesejahteraan rakyat.

Pastinya, tantangan perhelatan Pilkada 2024 bakal jauh lebih besar. Pasalnya ada dinamika yang lebih beragam di berbagai wilayah, serta potensi pelanggaran yang membutuhkan pengawasan lebih oleh semua pihak, dan Wakil Presiden Kyai Ma’ruf Amin sendiri ikut menyinggung soal ini.

ABUSE OF POWER SEKALIGUS PEMBEGALAN DEMOKRASI

Menurut catatan yang saya peroleh, setidaknya saat ini ada 272 Pejabat Kepala Daerah yang akan menjabat sampai keputusan hasil Pilkada Serentak 2024. Sudah barang tentu hal ini sangat berdampak terhadap kebijakan pembangunan di daerah-daerah, lantaran Penjabat Kepala Daerah tidak terlalu dimungkinkan mengambil atau menerbitkan keputusan-keputusan strategis.

Penjabat Kepala Daerah ini, disinyalir/diduga bisa menjadi sumbu abuse of power. Kalau sudah bicara abuse of power dapat memicu ragam kecurangan pemilu. Pastinya yang paling menonjol adalah dugaan politisasi aparatur birokrasi (ASN/PNS) yang diarahkan menjadi mesin politik pemenangan salah satu calon.

Tragisnya lagi, terkadang rekan-rekan pengawas pemilu justru terjebak sendiri akibat regulasi-regulasi bernuansa politik yang didesain oleh kekuasaan. Oleh karena itu, saya berpendapat secara subjektif, jangan-jangan justru negara (kekuasaan) yang membuka ruang kecurangan pemilu itu sendiri.

Memang agak berat dan banyak risiko kerja-kerja rekan-rekan pengawas, karena tanggungjawabnya dalam domain politik.

Akibat jebakan-jebakan regulasi itu, para pengawas pemilu di lapangan akhirnya terbentur yang memaksa mereka berkompromi dengan keadaan. Para pengawas pun akhirnya mendapat tuduhan tak mampu bekerja maksimal.

Halaman 
Tag berita:
Berita terkait
breakingnews