DIKSI.CO, SAMARINDA - Guna memecah kebuntuan konflik berkepanjangan antara masyarakat dan industri ekstraktif pertambangan, Kelompok Kerja 30 (Pokja) 30 Kalimantan Timur (Kaltim) akhirnya menggelar diskusi media untuk membedah segmen regulasi, akuntanbiltas dan partisipasi.
Bertempat di Hotel Grand Elty Singgasana, Tenggarong, kegiatan itu pasalnya tak hanya dihadiri awak media sebab warga di Desa Sungai Padang, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Sabtu (26/2/2022).
Kegiatan yang dipimpin langsung oleh Koordinator Pokja 30 Kaltim, Buyung Marajo itu dengan rinci mengusung tema diskusi, "Temuan dan Rekomendasi Stakeholders Scorecard: Tata Kelola Pendapatan Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara di Kaltim".
Pertama-tama, kata Buyung Marajo, program tersebut sejatinya dilaksanakan di beberapa daerah seperti Nagan Raya Provinsi Aceh dan Konawe Utara di Provinsi Sulawesi Utara.
"Sedangkan pelaksanaan di Provinsi Kalimantan Timur di Kukar ini dikawal langsung oleh Pokja 30," ucap Buyung Marajo.
Kembali dijelaskan, program yang menjadi fokus bahasan itu juga untuk mendorong Publish What You Pay (PWYP) di Indonesia.
"Tujuannya, ya untuk memecahkan persoalan yang ada di lingkar industri ekstaktif seperti pertambangan, khususnya terkait regulasi, akuntanbiltas dan partisipasinya. Yang selama ini kita lihat partisipasinya itu hanya sepihak, tapi yang kita dorong ini bagaimana partisipasinya di tingkatan masyarakat lingkar tambang," bebernya.
Buyung Marajo juga menjelaskan, perihal pendapatan daerah Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Kutai Kartanegara yang sampai saat ini masih bertopang pada hasil Sumber Daya Alam (SDA), khususnya di Dana Bagi Hasil (DBH).
Dari topangan hasil SDA di sektor DBH itu, kata Buyung Marajo, seharusnya seluruh elemen, baik eksekutif, legislatif, pelaku usaha dan masyarakat, dapat duduk bersama untuk membahas persoalan dampak tambang dan konflik agraria yang terjadi di sekitar industri ekstraktif.
"Dan kita juga perlu tahu apa sih persoalan yang terjadi di beberapa sektornya, seperti soal regulasinya. Terlebih di Kaltim saat ini rata-rata diisi oleh perudahaan besar. Lalu yang jadi pertanyaan, bagaimana dengan pungusaha lokal yang kemungkinan bisa kalah bersaing dengan perizinan yang ditarik kembali ke pusat," terangnya.
Dengan ditarikanya perizinan pertambangan oleh pemerintah pusat, tentu hal tersebut akan memberi dampak negatif. Terlebih bagi masyarakat yang bermukim di sekitar pertambangan.
Terlebih, DBH yang selama ini terjadi juga tak memberi manafaat signifikan bagi masyarakat. Ia pun berharap dengan adanya regulasi keterbukaan akuntanbilitas dan partisipasi bisa menjadi harapan dan memberi manfaat bagi masyarakat.
"Ruang masyarakat ini sangat minim ya. Artinya, bagaimana hak masyarakat ini dapat bersuara dan dilibatkan dalam forum resmi maupun forum konsultasi publik," tandasnya. (tim redaksi)