Sabtu, 23 November 2024

Belum Penuhi Rasa Keadilan untuk Daerah, Pakar Ekonomi Minta Pengesahan RUU HKPD Ditunda dan Daerah Penghasil Lakukan Negosiasi

Koresponden:
Er Riyadi
Kamis, 7 Oktober 2021 7:22

Prof Purwo Santoso, Pakar Otonomi Daerah asal Universitas Gadjah Mada (kiri) dan Aji Sofyan Effendi, Pengamat Ekonomi dari Universitas Mulawarman (kanan)/ Diksi.co

DIKSI.CO, SAMARINDA - RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) akan menjadi senjata pemerintah pusat untuk mereset ulang dana bagi hasil (DBH) dan dana perimbangan ke pemerintah daerah.

Salah satu perhatian banyak pihak kepada RUU HKPD, mengenai adanya klausul penghilangan ketentuan transfer dana alokasi umum ke daerah sebesar 26 persen.

Wacana penghapusan ketentuan 26 persen itu sudah masuk dalam pembahasan RUU Hubungan Keuangan Pemerintah dan Pusat (HKPD) yang kini tengah digodok bersama DPR.

Disampaikan oleh pemerintah melalui surat presiden ke DPR, diketahui ada klausul yang menyebutkan bahwa tidak ada lagi pagu DAU secara persentase.

Padahal, 26 persen itu menjadi rujukan pemerintah daerah untuk melaksanakan penganggaran atau merencanakan APBD-nya.

Turut hadir sebagai pembicara di webinar Zoom Nasional garapan Forum Rakyat Kaltim Bersatu (FRKB) dan Pemprov Kaltim, yakni Prof Purwo Santoso, Pakar Otonomi Daerah asal Universitas Gadjah Mada (UGM).

Zoom Nasional itu membahas tinjauan mengenai RUU HKPD dalam rangka penguatan desentralisasi fiskal pusat dan daerah.

Prof Purwo menyebut RUU HKPD perlu jadi perhatian pemerintah daerah, terutama daerah penghasil SDA.

Wacana penghapusan 26 persen DAU ini hanya salah satu yang mesti diperhatikan daerah.

Menurutnya Kaltim mesti terlibat dalam merangkai ulang naskah akademik. Agar, rasa keadilan dalam transfer pusat ke daerah bisa dirasakan.

"Naskah akademik harus diperbaiki. Review yang saya lakukan dengan DPR RI tidak memadai. Kaltim harus merangkai ulang naskah akademik secara detail. Memiliki kerangka berfikir akademiknya," kata Prof Purwo, Kamis (7/10/2021).

Akademisi dari Universitas Gadjah Mada ini menjelaskan, RUU HKPD mestinya menjadi ruang daerah penghasil melakukan negosiasi ke pusat.

"Pembahasan RUU ini jadi negosiasi daerah ke pusat. Tapi megosiasi jangan asal nyaring dan lantang, tapi menfgubakan cara elegan. Nanti jika tim dari daerah terbentuk untuk melakukan negosiasi, perlu kerangka berpikir secara akademis," sambungnya.

Untuk itu, Prof Purwo juga mengingatkan pusat agar menunda terlebih dahulu pengesahan RUU HKPD menjadi undang-undang.

Diketahui, pemerintah menarget pengesahan UU HKPD dilakukan pada akhir tahun 2021 ini.

"Pengesahan UU HKPD harus ditanah, jika buru buru disahkan. Memajukan Indonesia jadi terhampat, lantaran hanya memastikan APBN dan APBD tersedia itu aja. Naskah akademik sebagai ajuan menyusun RUU mesti dikaji ulang," tegasnya.

DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan bagi APBD. DAU yang dikeluarkan pemerintah pusat adalah sebesar 26 persen dari pendapatan dalam negeri neto.

Kemudian, DAU yang diterima daerah sendiri merupakan pendapatan dalam negeri neto untuk periode dua tahun sebelumnya. Ini dimaksudkan guna memberikan jeda waktu penganggaran sehingga tidak terburu-buru dalam menyusun APBD.

Sementara itu, Aji Sofyan Effendi, Pengamat Ekonomi dari Universitas Mulawarman menyampaikan permasalahan dana bagi hasil bukan berada di keadilan transfer daerah, namun bagaimana negara bisa meningkatkan APBN.

APBN Indonesia berkisar kurang lebih di angka Rp2000 triliun. Dengan jumlah anggaran itu, Indonesia tidak bisa berbuat banyak melakukan pembangunan.

Dari Rp2000 triliun APBN, setelah otak atik berbagai kebutuhan belanja negara, tersisa sekitar 40 persen kapasitas fiskal, atau sekitar Rp600 triliun yang diperebutkan seluruh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia sebagai transfer daerah.

"Perjuangan transfer pemerintah (DAU), 26 persen menjadi 30 persen dari pendapatan nasional perlu melakukan perubahan formulasi hitungan. Atau menuju yang diinginkan Pak Gubernur sebesar 50 persen," ungkapnya.

"Bagaimanapun formula yang dibahas dalam RUU HKPD, semua seakan jadi utopis karena keterbatasan APBN artinya RUU HKPD perlu didesain ulang," sambungnya.

Pemerintah pusat mesti melakukan peningkatan rupiah di APBN. Jika APBN naik, otomatis bagi hasil  dan pembangunan daerah juga pasti meningkat.

Jika APBN terbatas seperti saat ini hambatan dalam pembangunan pasti terjadi. Aji Sofyan Effendi lalu mengambil contoh Tol Balikpapan-Samarinda.

"Bangun jalan tol, Kaltim butuh waktu 9 tahun menyelesaikannya. Karena anggaran APBN terbatas, meski sudah dapat suntikan APBD Kaltim 3 triliun ditambah pinjaman dari Tiongkok," tuturnya.

Senada dengan Prof Purwo, Aji Sofyan Effendi berharap pengesahan RUU HKPD dilakukan dengan tidak terburu-buru.

"Jangan buru-buru mengesahkan RUU HKPD karena ini membahas nasib masa depan Indonesia," tegasnya. (tim redaksi Diksi)

Tag berita:
Berita terkait
breakingnews