DIKSI.CO, SAMARINDA - Genap 40 nyawa yang hilang di lubang bekas tambang. Hal ini berlangsung dalam kurun waktu 10 tahun atau sejak 2011 hingga 2021.
Selain angka yang mencengangkan, kondisi ini juga membuka mata kita semua, jika para pemegang izin pertambangan yang wilayah konsesinya memakan korban ini, telah abai dengan tanggungjawabnya untuk melakukan reklamasi dan pascatambang.
Hal ini pun diutarakan Herdiansyah Hamzah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman bahwa dengan adanya korban ini, menunjukkan bagaimana proses reklamasi pascatambang belumlah 100 persen dilakukan pihak perusahaan.
"Itu jelas kewajiban mutlak perusahaan. Dan siapapun yang abaik dengan kewajiban ini, jelas adalah kejahatan yang berkonsekuensi pidana," ujarnya.
Castro, demikian ia biasa disapa, sampaikan bahwa dalam ketentuan Pasal 161B ayat (1) UU 3/2020 tentang Perubahan UU 4/2009 tentang Minerba, disebutkan secara eksplisit bahwa setiap orang yang IUP atau IUPK dicabut atau berakhir dan tidak melaksanakan reklamasi dan/atau pascatambang; dan/atau penempatan dana jaminan reklamasi dan/atau dana jaminan pascatambang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 100 miliar rupiah.
"Bahkan dalam ketentuan Pasal 164 UU a quo, pelaku tindak pidana juga dapat dikenai hukuman tambahan berupa perampasan barang, perampasan keuntunhan, dan kewajiban membayar biaya yang ditimbulkan akibat tindak pidana tersebut," ujarnya.
Batas waktu pelaksanaan reklamasi sendiri, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 21 PP 78/2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang, adalah paling lambat 30 hari kalender sejak kegiatan usaha pertambangan selesai dilakukan.
Sementara batas waktu untuk pelaksanaan pascatambang adalah paling lambat 30 hari kalender setelah sebagian atau seluruh kegiatan pertambangan berakhir (lihat Pasal 25 ayat (3) PP 78/2010).
Sementara faktanya, disampaikan Castro, rata-rata perusahaan tambang di Kaltim, urung melakukan kewajiban reklamasi ini, bahkan hingga berpuluh tahun. Ini juga yang berkontribusi besar terhadap 40 korban yang kehilangan nyawa di lubang tambang.
"Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi aparat kepolisian untuk tidak melakukan proses hukum terhadap perusahaan yang abai dengan kewajiban reklamasi dan pascatambang. Bukan hanya terhadap perusahaan yang wilayah konsesinya memakan korban nyawa manusia, tapi proses hukum ini juga harus dilakukan terhadap seluruh perusahaan pertambangan batubara yang abai atau tidak melakukan reklamasi dan pascatambang," ujarnya.
"Pun demikian dengan pemerintah daerah yang juga punya tanggung jawab untuk memastikan proses hukum ini berjalan. Apalagi Gubernur dalam kapasitas wakil pemerintah pusat di daerah, juga diberikan tugas untuk memastikan nyawa dan keselamatan warganya, termasuk atas pelanggaran reklamasi yang memakan korban ini. Ini yang tidak didipahami dan dijalankan dengan baik. Jangan menutup mata dan telinga terhadap kejahatan serius ini," lanjut Castro.
Ia sebut bahwa daerah bahkan punya insrumen hukum yang progresif sejak 2013 melalui Perda 8/2013 tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Pascatambang.
Namun sayangnya, dua rezim pemerintah daerah, baik dimasa Awang Faroek Ishak maupun dimasa Isran Noor, substansi Perda tersebut gagal dijalankan sesuai dengan kepentingan dan harapan warga, khususnya bagi para keluarga korban.
Dampaknya, kejahatan dalam bentuk ketidakpatuhan reklamasi dan pascatambang ini semakin meluas, dan terus menerus memakan korban.
"Jika aparat kepolisian, termasuk pemerintah, tidak serius dan memiliki komitmen kuat menyelesaikan persoalan ini, maka niscaya korban akan terus berjatuhan," katanya. (tim redaksi Diksi)