Tom Lembong Divonis karena Jalankan Ekonomi Kapitalis, Pakar Hukum: Nilai Keadilan Tak Tercermin di Kasus Ini
DIKSI.CO – Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, mengkritik keras putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis terhadap mantan Menteri Perdagangan 2015–2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, dalam kasus impor gula.
Feri heran karena Tom Lembong divonis seolah-olah karena menjalankan kebijakan berlandaskan sistem ekonomi kapitalis.
Menurutnya, sistem ekonomi bukanlah dasar yang sah untuk mempidanakan seseorang.
“Kalau ekonomi kapitalis bisa menjadi hukum pidana, bisa dikenakan tindak pidana, betapa banyak orang di negeri ini dipenjara,” ujar Feri dalam diskusi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Salemba, Jakarta, Senin (21/7/2025).
“Mohon maaf, sebagian besar ibu dan bapak bangsa kita menganut sistem ekonomi kapitalis di titik tertentu. Penjarakan itu semua,” tambahnya dengan nada menyindir.
Feri juga menilai vonis terhadap Tom Lembong tidak mencerminkan asas keadilan hukum sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
“Nilai-nilai keadilan tidak tercermin dalam kasus ini. Tidak ada bukti niat jahat atau mens rea dari Tom Lembong. Nah, di mana adilnya?” ucapnya.
Ia pun mendorong Tom untuk terus mencari keadilan dan menggunakan segala jalur hukum yang tersedia.
“Ini lebih mirip dendam ya. Begitu Tom Lembong dan Hasto tidak lagi di lingkaran kekuasaan dan kekuatan mereka secara politik melemah, maka mereka kemudian ditangkap, diambil untuk kepentingan proses hukum,” katanya
Sebelumnya, pada Jumat (18/7/2025), Majelis Hakim Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 4 tahun dan 6 bulan penjara kepada Tom Lembong dalam kasus dugaan korupsi impor gula.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa, Thomas Trikasih Lembong, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan,” ujar Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika saat membacakan amar putusan.
Tom Lembong dinilai terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan jaksa penuntut umum.
Namun hingga kini, kontroversi masih menyelimuti putusan tersebut, terutama dari kalangan akademisi dan pengamat hukum. (*)