DIKSI.CO, SAMARINDA - Perekonomian suatu kota diharap bisa muncul dari berbagai sektor.
Sektor ekstraktif dihindarkan, dan diharap bisa memunculkan sektor lain, seperti misalnya jasa dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai penopang. Usaha warga meningkat, otomatis juga berdampak pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) Samarinda.
Hal ini pun turut direspon Andi Harun, tokoh di Kota Tepian yang juga jadi salah satu kandidat di Pilkada Samarinda.
Ia sampaikan sejak peradaban teknologi memasuki era 4.0, maka perlu ada penyesuaian kebijakan dan sistem dalam berbagai hal.
Kata dia, penyesuaian dan kebijakan dan sistem diera digitalisasi harus memberikan keuntungan, kemudahan dan kenyamanan.
"Sejak beberapa tahun sebelum covid-19, era digital sudah mulai diterapkan. Namun belum massif ketika wabah covid-19 melanda dunia. Sekarang hampir semua kegiatan dapat dilakukan dengan sistem digitalisasi," kata Andi Harun saat diwawancara beberapa waktu lalu.
Saat ini, warga Samarinda sebagian besar menggunakan era kecanggihan teknologi.
Misalnya, dengan membuat aplikasi ojek online, sektor perbankan menerapkan pembayaran sistem online, hingga membayar lewat tol menggunakan kartu khusus seperti E-Tol.
"Saya punya pemikiran, di beberapa titik kawasan Samarinda punya potensi menerapkan era digital. Seperti di kawasan wisata belanja Citra Niaga, pusat kuliner di Jalan Juanda dan Jalan Lambung Mangkurat," ungkap Andi Harun.
Beberapa kawasan tersebut, bisa menjadi percontohan sebagai kawasan non tunai.
Artinya, segala kegiatan transaksi dikawasan itu menerapkan era digitalisasi.
Ia menjelaskan, di kawasan wisata belanja Citra Niaga yang dibangun era mantan Walikota Waris Husein, terdapat toko yang menjual souvenir khas Samarinda dan kini cafe-cafe.
Berbagai cafe kopi mulai ada di kawasan Citra Niaga. Sebut saja, Kopi Sajen, Lokalo, hingga yang terbaru Makmoer Djaya.
Faktor lain, kawasan itu pernah meraih penghargaan internasional Aga Khan tentang konsep dan arsitek bangunan Citra Niaga.
"Ketika kawasan itu ditetapkan sebagai kawasan non tunai, maka segala transaksi serba digital. Misalnya, bayar parkir, bayar kopi, beli souvenir dan belanja kuliner," papar Andi.
Untuk menerapkan kawasan non tunai, maka diperlukan kerjasama antar lembaga dan pemerintah sebagai pemegang kebijakan.
"Pemerintah memiliki kebijakan, tiga kawasan itu ditetapkan sebagai percontohan kawasan non tunai. Bekejasama dengan sektor perbankan seperti Bank Kaltim dan atau bank lainnya. Pemerintah juga bekerjasama dengan penyedia jasa layanan aplikasi pembayaran non tunai," ucapnya merincikan.
Menurutnya, dengan sistem itu masyarakat, sektor perbankan dan pemerintah saling menguntungkan.
"Karena memudahkan masyarakat bisa belanja tanpa harus membawa uang cash, artinya lebih aman. Pemerintah mendapat pemasukan kas daerah dari kerjasama antar perbankan," jelasnya.
Ide dan gagasan ini, lanjut Andi Harun, bakal ia terapkan jika ia dipercaya dan dipilih memimpin Kota Samarinda.
"Untuk saat ini, sepertinya belum ada menerapkan itu. Karena sistem digitalisasi non tunai ini dapat menggerakkan juga sektor UMKM," ujarnya. (*)
Cashless di Swedia
Saat ini masyarakat Swedia mayoritas sudah menggunakan sistem non-tunai (cashless) di hampir seluruh transaksinya, mulai dari belanja di supermarket sampai beli es krim di kedai pinggir jalan.
Sebagaimana dilansir media online The Guardian, bank sentral Swedia, The Riksbank, mengungkapkan bahwa nilai transaksi tunai di Swedia pada tahun 2015 tidaklah lebih dari 2% jika dihitung dari total keseluruhan transaksi di negara tersebut.
Hingga tahun 2020, transaksi tunai di Swedia pun ditargetkan hanya mencapai 0,5% dari total transaksi. Pusat perbelanjaan maupun pertokoan di Swedia juga hanya menunjukkan nilai transaksi tunai kurang dari 20%, dimana angka ini cukup jauh di bawah rata-rata transaksi tunai secara global, yaitu 75%.
Hal yang lebih mengejutkan lagi, ternyata sebanyak 900 dari 1600 bank di Swedia sudah tidak menyimpan uang tunai maupun melayani setoran secara tunai.
Sistem cashless di Swedia pada dasarnya menggunakan infrastruktur perbankan yaitu rekening bank, kartu debit maupun kartu kredit baik visa maupun mastercard.
Sehingga kepemilikan rekening bank menjadi prasyarat utama untuk dapat bertransaksi secara casshless.
Bank-bank di Swedia pada umumnya tidak memiliki sistem transaksi dengan e-money maupun e-wallet seperti di Indonesia. Mayoritas transportasi umum di Swedia menggunakan kartu khusus yang hanya berlaku untuk kereta, bus dan tram di satu wilayah tersebut.
Untuk mengisi ulang kartu tersebut disediakan mesin pengisi (top-up) kartu di setiap stasiun baik dengan pembayaran secara cash maupun dengan kartu debit/kredit. Saat ini pemerintah Swedia juga memberikan pilihan membeli tiket kereta/bus dengan menggunakan aplikasi mobile.
Dengan mendaftarkan informasi perbankan maka tiket dapat langsung dibeli dalam aplikasi tersebut dan tercetak dalam bentuk QR code di smartphone.
QR Code tersebut di scan pada QR reader yang tersedia di dalam bus atau di scan dengan alat yang dibawa oleh kondektur di dalam kereta.
Sehingga kita tidak perlu repot untuk mencetak tiket cukup dengan menunjukkan QR code di smartphone saja.
Hal yang sama juga diterapkan untuk membeli tiket nonton film di bioskop. Cukup membeli tiket lewat aplikasi bioskop (SF Bio) sebelumnya yang kemudian dicetak dengan memindai barcode yang ada di smartphone pada mesin yang tersedia di bioskop. (tim redaksi Diksi)