DIKSI.CO, SAMARINDA - Persidangan kasus rasuah dilingkungan Pemkab Kutim dengan tersangka Deki Aryanto dan Aditya Maharani sebagai pihak rekanan swasta kembali dihadirkan dalam kursi pesakitan, Selasa (29/9/2020) sore hingga malam tadi.
Pada jadwal sidang ke duanya ini di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda majelis menghadirkan lima orang saksi yang mana dua di antaranya adalah Sekretaris Daerah (Sekda) Kutim Irawansyah dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Pemkab Kutim HM Edward Azran.
Untuk diketahui, kelima saksi ini kembali dihadirkan, pasca persidangan yang tertunda akibat teknis jaringan terputus pada Senin (28/9/2020) kemarin.
Kelima saksi yang kembali diminta keterangannya. Selain Irawansyah dan Edward Azran, tiga saksi lainnya yang dihadirkan ialah Hendra Ekayana dan Ahmad Firdaus, keduanya selaku staf di Bappeda Pemkab Kutim.
Dan terakhir Panji Asmara, selaku Kasi Program di Bapenda Pemkab Kutim.
Persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi ini pun kembali diberlangsungkan melalui sambungan virtual.
Dua terdakwa ini, Aditya Maharani dan Deki Aryanto mengikuti persidangan melalui Rumah Tahanan KPK di Jakarta. Keduanya telah didakwa memberi suap kepada Bupati Kutim nonaktif Ismunandar, sebagai rekanan swasta Pemkab Kutim.
Di dalam ruang sidang PN Tipikor Samarinda, hanya dihadiri oleh Agung Sulistiyono sebagai ketua Majelis Hakim, dengan didampingi Joni Kondolele dan Ukar Priyambodo selaku hakim anggota.
Sejak kembali dilanjutkannya persidangan, Agung Sulistiyono langsung melemparkan sejumlah pertanyaan kepada Irawansyah yang menjabat sebagai Sekda, sekaligus Ketua Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) di Pemkab Kutim.
Pada jadwal sidang Senin kemarin sebelum ditunda, sempat diketahui Irawansyah memberikan penjelasannya terkait peran dan tugas sebagai Ketua TAPD. Agar dapat menyampaikan proses tahap masuknya dana Pokok Pikiran (Pokir) DPRD Kutim ke dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Hingga kemudian Pokir itu menjadi proyek yang dikerjakan oleh rekan swasta, yakni terdakwa Deki Aryanto. Namun baru beberapa keterangan yang disampaikan, jaringan internet terputus.
Melanjutkan kesaksian Irawansyah, dijelaskannya untuk mengakomodir pokir harus dinahas bersama antara DPRD Kutim dan SKPD dilingkup Pemkab Kutim. Sebelum akhrinya di bahas dalam rapat koordinasi pembangunan kabupaten.
"Saran berupa pokir yang tidak selaras dengan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) di antaranya mencakup sektor pendidikan 20 persen dan sektor kesehatan 10 persen," ucap Irawansyah dalam persidangan.
Besaran anggaran alokasi mengakomodir pokok pokiran (Pokir) di anggaran 2020 sebesar Rp200 miliar. Anggaran dan kegiatan tersebut akan digunakan oleh beberapa SKPD termasuk di DPRD Kutim sendiri.
"Sepengetahuan saya besaranya dana aspirasi yang telah dianggarkan 2020 senilai Rp100 miliar dengan masing masing, bupati 60 miliar dan wakil bupati 40 miliar. Dari jumlah itu (Rp 200 miliar) anggaran untuk covid di kutim senilai 106 miliar, dana ini diambil dari belanja barang dan belanja modal," jelasnya
Irawansyah mengakui turut mengetahui adanya usulan kegiatan proyek di bawah Rp200 juta. Yang sebagian besar adalah merupakan Pokir dari DPRD Kutim. Kendati demikian, dengan poksi tugasnya ia tak dapat merubah dan memotong usulan-usulan tersebut.
Terlebih dia juga telah disinggung dengan ketua DPRD Kutim Encek, pada medio Oktober 2019 silam di ruang rapat paripurna, yang menyebutkan bahwa Sekda tidak boleh memotong anggaran.
"Jadi saya pikir, yang saya pahami berarti tidak boleh memotong anggaran dari DPRD," terangnya.
"Selain itu dari anggota dewan selalu menegaskan. Untuk lebih dahulu menyusun program sementara anggaran menyusul," sambungnya.
Di sesi akhir, Sekda Kutim itu mengatakan selama ini hanya bertemu dua kali dengan Terdakwa Deki dan Aditya Maharani.
"Tapi saya tidak tahu kalau mereka rekanan swasta pemkab kutim," ucapnya
"Kalau terkait proyek penunjukan langsung dan lelang, pasti ada. Karena menyesuaikan anggaran untuk penanganan barang dan jasa," tutupnya.
Setelah mendengar keterangan Irawansyah, saksi selanjutnya yang dimintai keterangan adalah Panji Asmara, selaku Kasi Program di Bapenda Pemkab Kutim. Ia dihadirkan sebagai saksi, lantaran tugasnya yang selau berkaitan erat dengan tersangka atasnama Musyaffa, yang tak lain adalah Kepala Bapenda.
Kepada majelis hakim dan JPU, Panji mengakui sempat diperintahkan Musyafa, untuk menukarkan sejumlah uang rupiah menjadi krus USD untuk dirupiahkan.
"Saya diminta untuk tukarkan uang rupiah ke 10.000 dolar. Waktu menukar, saya hubungi teman saya yang ada di Samarinda. Tapi saya tidak diperintahkan untuk memberikan uang kepada pak Ismunandar," ucapnya.
Setelah menukar uang 10.000 USD, beberapa hari kemudian, Panji mengakui menghadiri perjamuan sejumlah Pejabat Pemkab Kutim di Hotel Mesra, Samarinda.
Kehadirannya di sana untuk mendampingi Musyafa. Saat itulah, ia kemudian diperintahkan oleh atasannya tersebut, untuk menyerahkan sebuah amplop cokelat seukuran kertas folio, kepada orang nomor satu di Kutim itu.
"Tapi saya engga tau isinya apa, setelah saya kasih ke pak bupati, saya pergi," terangnya.
Belakangan diketahui, setelah JPU turut mempertanyakan kepada Panji, bahwa dirinya juga telah menerima uang sebesar Rp100 juta dari Musyafa.
"Uang itu dikasih untuk biaya berobat saya. Saya sakit maag akut. Sama beliau disuruh berobat. Uang itu dikasih berjenjang tidak sekaligus. Saya juga tidak tahu uangnya berasal dari mana," ungkapnya.
Selain itu, Panji turut mengakui sempat mendengar Ismunandar yang sempat mengucap kepada Irawansyah selaku Sekda dan Edward Azran selaku Kepala Bappeda Kutim, agar anggaran dana proyek Ismunandar sebesar Rp250 miliar, jangan diganggu gugat.
"Iya (dengar), tapi sepahaman saya saat itu, jangan diganggu gugat, yang dimaksud agar proyek tersebut tidak asal dikerjakan sebelum semuanya pasti dan jelas," demikian Panji.
Selanjutnya giliran saksi Ahmad Firdaus yang dimintai keterangan. Bertugas sebagai kasubbid pembangunan dan pengkajian daerah Bappeda Kutim. Ahmad firdaus menjelaskan tugas TAPD meresap Pokir DPRD Kutim hingga akhirnya masuk ke dalam rancangan APBD.
Dari aspirasi DPRD itulah, dirinya kemudian bertugas untuk membuat daftar Pokir. Dalam hal ini dirinya bertugas menyortir tanpa bisa menggangu rancangan yang ada. Dirinya pun tidak mengetahui kontraktor yang akan mengerjakan proyek pokir dari DPRD.
"Dari rancangan yang ada, saya pernah mendapatkan list pokir yang telah di revisi oleh Encek UR Firgasih. Didapat dari Lina (staf Encek), yang khusus mengatur pokir milik Encek. Lina ini menyampaikan ada revisi dari bunda. Dan revisi itu kemudian disampaikan kepada kepala Bappeda Kutim," jelasnya.
Kepada Majelis Hakim, Firdaus mengatakan mengetahui adanya dana aspirasi milik Ismunandar. Hal itu terkait pembangunan masjid, pengadaan mobil ambulan, pembangunan gereja dan semenisasi jalan.
"Tapi saya tidak mengetahui rincian dana aspirasi. Saya hanya mentotal keseluruhan seniali Rp16 Miliar. Dan disampaikan oleh atasan saya (Edward Azran Kepala Bappeda)," jelasnya.
Selain itu, Firdaus mengaku kala itu dirinya diminta untuk memasukan titipan paket anggaran sebesar Rp1 miliar untuk ditahun 2020. Dalam daftar pokir tersebut ada pula paket titipan yang diberikan kepada Edward Azran dan Hendra. Sehingga total keseluruhan paket senilai Rp20 miliar. Paket tersebut dianggarkan lebih kepada proyek di Dinas Pendidikan Kutim.
"Untuk keseluruhan paket anggaran RP20 miliar itu, saya kelola (Susun Daftar) yang kemudian saya berikan kepada saudara Deki," ungkapnya.
Kepada majelis hakim, Edward Azran selaku Kepala Bappeda Kutim menyampaikan kesaksiannya, yang mengaku tidak berdaya menghadapi pokir DPRD. Sehingga semua usulan aspirasi DPRD itu hanya dimasukan kedalam daftar sesuai permintaan.
Terlebih ada omongan, kalau pokir DPRD Kutim tidak boleh diganggu. Hal tersebut disampaikan pula oleh Encek. Atas dasar itulah Edward menganggap bahwa seluruh usulan pokir tersebut harus dipenuhi.
Diketahui total alokasi anggaran penanganan Covid-19 di Kutim sebesar Rp106 miliar.
Jumlah itu merupakan potongan 35 persen dari belanja modal dan barang milik Pemkab Kutim.
"Tapi DPRD (Encek) meminta pokir jangan dipotong. Sehingga anggaran yang ada dipindahkan ke 2021 dengan tidak mengurangi jatah pokir yang sudah ada," pungkasnya.
Usai memintai seluruh keterangan saksi, sidang pun ditutup oleh Agung Sulistiyono dan akan kembali dilanjutkan pada Senin (5/9/2020).
"Baik, keterangan yang telah disampaikan tidak ada yang disanggah. Dengan demikian sidang kita lanjutkan pada pekan depan. Masih dengan agenda yang sama. Dengan ini sidang ditutup," pungkas Agung sembari mengetuk palu.
Aditya Maharani, Direktur PT Turangga Triditya Perkasa serta Deki Aryanto, Direktur CV Nulaza Karya, didakwa JPU KPK lantaran terbukti melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor jo Pasal 65 KUHP.
Dengan dakwaan kedua, Deki maupun Maharani didakwa melanggar pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubah Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor jo Pasal 65 KUHP. Deki didakwa menyogok Ismunandar dan Encek, melalui Musyaffa serta Anto dengan total uang Rp 8 miliar. (tim redaksi Diksi)