DIKSI.CO, SAMARINDA - Tindak pidana yang dilakukan JC (37) dan AF (21) lantaran memalsukan data sim card harus diseriusi pihak kepolisian. Menurut pengamat hukum, Herdiansyah Hamzah, sindikat perdagangan sim card berisi data palsu ini harus benar-benar diselidiki hingga ke para pedagang.
Sebab menutur Castro -sapaan karib Hendiansyah Hamzah- terkait hukum yang menjerat penyedia jasa penjual Nomor Induk Kependudukan (NIK) dapat dilihat lagi dari masing-masing perannya setiap pelakunya.
"Jika ada upaya aktif dari pedagang atau yang menjual belikan dengan adanya niat itu dapat dijerat karena jika berbicara pidana itu berbicara tentang ada perbuatan dan ada niat," ucap Castro melalui pesan Whatsapp-nya, Sabtu (13/3/2021).
Maka dari itu, kata Castro, penyidik kepolisian dalam hal ini, Satreskrim Polresta Samarinda harus bisa mengurai peran dari masing-masing pihak yang terlibat, jika terbukti tidak hanya pelaku yang melakukan jual beli sim card dari data identitas kependudukan itu dan pedagang mempunyai niat untuk itu dia bisa dijerat juga.
"Jadi tergantung dari perannya masing-masing, nanti penyidik dari kepolisian akan mengurai apakah penjual memang memiliki niat dalam memperdagangkan atau tidak," tambahnya.
Selain itu, senada dengan pihak kepolisian yang saat ini sedang memburu penyedia jasa jual beli NIK, Castro juga menyebutkan jika para sindikat tersebut mampu dijerat dengan pasal 55 KUHP.
"Karena ada yang melaksanakan langsung atau ada yang memerintahkan, ada yang membantu melakukan jadi ada peran masing-masing dalam peristiwa pidana itu," bebernya.
Lebih jauh diungkapkannya, sebenarnya kasus pencurian data elektronik seperti ini sudah beberapa kali muncul dan telah menjadi kontroversial di publik.
Diberitakan sebelumnya, Kedua pelaku yang diamankan ialah JC (37) selaku pemilik konter ponsel J Cell di Jalan KS Tubun, Kecamatan Samarinda Ulu dan AF (21) yang merupakan karyawannya.
Dari bilik konter ponsel itu, pelaku telah melakukan pemalsuan data registrasi salah satu provider telekomunikasi ternama berbendera merah sejak 2018 lalu. Dari tangan kedua pelaku, sedikitnya polisi menyita barang bukti berupa 66 ribu kartu perdana, yang mana 50 ribu di antaranya telah teregistrasi dengan data palsu yang dibeli JC melalui sindikat lain secara online dengan nilai Rp200 per datanya.
Untuk melancarkan aksinya, JC dan AF menggunakan beberapa alat bantu, seperti mesin modem pool, yang dapat meregistrasi kartu perdana secara massal. Dari alat tersebut, JC dan AF mengoperasikannya dengan cara memasukan kartu perdana, kemudian disambungkan ke flashdisk berisi data yang hendak dipalsukan melalui CPU.
Untuk mengkawinkan data dengan sim card para pelaku menggunakan aplikasi Smart ACT. Dari kerja keduanya, setiap hari diperkirakan mereka mampu melakukan registrasi sim card hingga 1.000 kartu yang dijual seharga Rp10 ribu, hingga Rp20 ribu per buahnya.
Dengan kelengkapan alat bukti, polisi pun telah menaikan status kedua pelaku menjadi tersangka dengan jeratan pasal 51 ayat 1 juncto pasal 35 UU RI No 19/2016 tentang perubahan UU RI No 11/2008 tentang ITE dan pasal 94 juncto pasal 77 UU RI No 24/2013 tentang perubahan atas UU No 23/2006 tentang administrasi kependudukan.
Keduanya pun diancam kurungan badan 12 tahun penjara dan denda Rp12 miliar. (tim redaksi)