Jumat, 22 November 2024

Kerugian Rp 10,7 Miliar Dinilai Status Piutang, Jadi Sebab Vonis Bebas Pengadilan Tinggi Kaltim ke Terdakwa Direktur MJC

Koresponden:
Alamin
Rabu, 29 Mei 2024 18:38

Pengadilan Tinggi Kaltim yang membacakan banding bebas terdakwa Direktur PT MJC, Wendy karena menilai kalau uang Rp 10,7 miliar bersifat piutang. (IST)

DIKSI.CO, SAMARINDA - Vonis bebas yang diberikan Pengadilan Tinggi (PT) Kalimantan Timur kepada terdakwa Direktur PT Multi Jaya Concept, Wendy pada Maret 2024 karena adanya penilaian kalau uang Rp 10,7 miliar berstatus piutang.

Hal itu akhirnya membuat Wendy bebas dari seluruh jeratan hukum.

Vonis bebas itu pun berdasarkan nomor putusan 2/PID.SUS-TPK/2024/PT.SMR yang terbit pada Senin 18 Maret 2024 lalu melalui Hakim Ketua Jamaluddin Samosir dan dua Hakim Anggota, yakni Soehartono dan Masdun.

Dari hal tersebut, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Samarinda, Ary Wahyu Irawan yang kembali dikonfirmasi sejatinya telah menduga vonis bebas itu.

Karena pada saat persidangan di tingkat I, dirinya yang juga mengisi posisi majelis hakim sudah mengeluarkan pendapat kalau potensi kerugian negara, Rp 10,7 miliar bersifat piutang.

“Uang-uang itu utang semua bukan penyertaan modal. Tapi pada intinya putusan pengadilan tinggi juga sama, yang menyatakan kalau itu bukan perbuatan pidana tapi perdata (utang puitang),” bebernya, Rabu (28/5/2024).

Diketahui, pada 2014 PT MJC milik terdakwa Wendy mengajukan penawaran kerja sama pembiayaan pembangunan proyek rumah kantor (rukan) The Concept Business Park di Jalan Teuku Umar, Karang Asam Ilir, Sungai Kunjang Samarinda.

Penawaran senilai Rp 12 miliar, dengan rencana investasi pengembalian penuh dana yang dipinjam beserta bagi hasil penjualan unit rukan yang nanti terbangun.

Penawaran itu diajukan ke Luki Ahmad, direktur PT Migas Mandiri Pratama Hilir (MMPH), anak usaha dari PT Migas Mandiri Pratama Kalimantan Timur (MMPKT) perseroan daerah (perseroda) milik Pemprov Kaltim.

Status MMPH merupakan anak usaha dari MMPKT tak memiliki kas sebesar itu karena baru didirikan. MMPH lantas mengajukan pinjaman modal ke induknya MMPKT.

Di sana terdakwa Wendy memaparkan studi kelayakan dan potensi keuntungan dari kerja sama pembiayaan tersebut. Hazairin Adha, direktur utama PT MMPKT kala itu setuju hingga akhirnya diberilah pinjaman modal ke MMPH.

Kesepakatan tertulis dibuat pada September 2014. Uang dari kas MMPKT yang notabene penyertaan modal dari Pemprov Kaltim digelontorkan bertahap. Sebanyak tiga kali.

Pertama pada 3 Oktober 2014 sebesar Rp 4,8 miliar, lalu Rp 3,6 miliar pada 25 November 2014, dan terakhir pada 12 Januari 2015 dengan nominal yang sama, sebesar Rp 3,6 miliar.

Dalam kesepakatan yang diteken MJC bersama MMPH, jangka waktu pengerjaan proyek rukan itu selama 18 bulan. Terhitung sejak 1 Oktober 2014, dua hari sebelum modal perseroan daerah milik Pemprov Kaltim ditransfer dan berakhir pada 1 April 2016.

Hingga perkara rasuah ini bergulir ke meja hijau, proyek itu nihil rupa. Dua tahun selepas proyek mangkrak dan tak ada pengembalian dana yang sudah dipinjam.

Terdakwa mengajukan jaminan atas piutang tersebut, yakni sertifikat lahan yang menjadi lokasi pembangunan rukan itu. Sementara pengembalian baru terjadi sebesar Rp 1,3 miliar pada 2023 sehingga masih menyisakan tunggakan pengembalian Rp 10,7 miliar..

“Karena perusahaan si terdakwa ini bekerjasama dengan anak perusahaan dari BUMD. bukan dengan BUMD-nya. Statusnya uang yang diserahkan dari BUMD ke anak perusahaan itu utang. kemudian anak perusahaan ini menggunakan uangnya untuk kerja sama dengan Wendy,” kata Waka PN Samarinda.

“Jadi statusnya menurut pandangan saya ini utang-piutang, jadi seharusnya itu digugat dan ditagihkan (ranah perdata),” katanya lagi.

Pandangan Ary Wahyu terhadap lepasnya jeratan hukum kepada Wendy bahkan telah disampaikan beberapa waktu lalu, tepat saat kasus dugaan rasuah itu bergulir di meja hijau, Pengadilan Tipikor Samarinda, medio Februari 2024 lalu.

“Jadi dulu awalnya kami di sini juga tidak sependapat. Tapi bagi hakim tidak sependapat itu hal yang wajar. Tapi karena dua majelis hakim lainnya menyatakan kalau ini terbukti, maka pada akhirnya terbukti. Tapi saya pribadi itu tidak terbukti karena itu masuk dalam perkara perdata bukan masuk pidana,” bebernya.

Meski tiga majelis hakim pada saat itu, yakni Ary Wahyu Irawan sebagai ketua bersama Jemmy Tanjung dan Fauzi Ibrahim silang pendapat. Namun karena dua majelis hakim lain meyakini Wendy terbukti bersalah. Maka putusan hukum akhirnya jatuh pada Jumat 2 Februari 2024.

Kala itu, majelis hakim membacakan putusan Wendy selaku Direktur PT MJC terbukti bersalah dengan vonis 7 tahun 6 bulan pidana penjara, beserta denda Rp 300 juta subsider 3 bulan pidana kurungan.

Selain itu, terdakwa Wendy juga dijatuhkan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar Rp10.776.000.000. Wendy disebut telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 Jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor.

“Karena dua hakim menyatakan sesuai dengan dakwaan JPU. Sehingga kasus itu dinyatakan bersalah,” terang Ary Wahyu.

Kendati Ary Wahyu membacakan putusan Wendy bersalah pada pengadilan tingkat I, namun sejatinya dia tetap meyakini kalau Direktur PT MJC itu tidak bertalian dengan tindak pidana korupsi. Karena uang belasan miliar itu, berstatus piutang.

Pendapat itu akhirnya diamini oleh putusan Pengadilan Tinggi Kaltim yang mengabulkan pengajuan banding dari Wendy.

Putusan banding bebas itu teregistrasi dengan nomor putusan 2/PID.SUS-TPK/2024/PT.SMR yang terbit pada Senin 18 Maret 2024 lalu melalui Hakim Ketua Jamaluddin Samosir dan dua Hakim Anggota, yakni Soehartono dan Masdun.

“Hal seperti itu biasa saja. Karena di sini juga ada beberapa perkara lepas. Karena kita memutus sebuah perkara itu berdasarkan fakta-fakta persidangan. Dan setiap pihak (Pengadilan Tinggi, Pengadilan Negeri, dan Jaksa Penuntut Umum) memiliki kewenangannya masing-masing,” pungkasnya. (tim redaksi)

Tag berita:
Berita terkait
breakingnews