Jumat, 22 November 2024

Kartini, Diperistri Bupati Berbini 3 hingga Perlawanan Kristenisasi

Koresponden:
diksi redaksi
Selasa, 21 April 2020 11:49

RA Kartini/ tribunnews

DIKSI.CO - Setiap hari Kartini tiba, selalu saja ada perdebatan. Itu bagus tentu saja, namun beberapa di antara perdebatan itu berbumbu olok-olok, mengejek Kartini: dia pejuang perempuan penentang poligami namun pasrah diperistri seorang bupati berbini tiga.  Lantas meme beredar, pesan WA berantai disebar kemana-mana. Intinya mau mengatakan bahwa perjuangan Kartini sia-sia karena perempuan tetaplah perempuan yang pada akhirnya harus jadi istri, beranak, dan mendekam di dapur seumur hidupnya.

Ada juga narasi lain yang terkesan menyudutkan Kartini sebagai seorang yang memandang sebelah mata agama Islam –namun akhirnya insyaf setelah bertemu Kyai Soleh Darat. Dia digambarkan seakan-akan seorang mualaf tobat yang akhirnya menemukan jalan menuju Tuhannya, setelah tiada henti-hentinya mempertanyakan agamanya sendiri. Itu terjadi karena Kartini hanya diwajibkan membaca Alquran tanpa pernah diajari apa arti di baliknya.

Sementara itu sebuah pesan WA yang mengedarkan artikel tentang “Sisi Lain Sosok RA. Kartini,” mengutip pendapat sejarawan Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Api Sejarah. Menurut artikel itu ada sisi lain Kartini yang selama ini ditutup-tutupi oleh “pihak Barat” dan “kaum sekuler”, yakni perlawanan Kartini terhadap praktik “kristenisasi” dan “westernisasi”.

Kesimpulan tersebut ditarik dari surat Kartini kepada Ny. Van Kol bertitimangsa 21 Juli 1902. Dalam suratnya, seperti juga dikutip dalam tulisan tersebut, Kartini bersiteguh untuk tetap memeluk agama Islam setelah (konon) Ny. Van Kol menawarkan agar Kartini memeluk agama Kristen.

Dalam surat kepada Abendanon, 31 Januari 1903, Kartini memang mengkritik misi zending yang terlalu vulgar dalam usahanya menyebarkan agama Kristen di Jawa. Artikel yang sama menafsirkan kritik Kartini kepada zending Kristen itu sebagai bentuk perlawanan terhadap kristenisasi yang berkelindan dengan kolonialisme Belanda.

Membaca surat-surat Kartini tanpa memahami konteks situasi zaman memang berpeluang menghasilkan penafsiran yang terpenggal. Soal agama, sikap Kartini jelas. Dia mengkritik otoritas agama yang sering di(salah)gunakan dalam praktik permaduan (poligami).  Dalam suratnya kepada Stela Zeehandelar, 23 Agustus 1900, Kartini menggugat praktik tersebut. Menurutnya banyak perempuan saat itu yang mengutuk, namun tak bisa berbuat apa-apa karena aturan agama Islam memperbolehkannya.

Halaman 
Tag berita:
Berita terkait
breakingnews