Minggu, 19 Mei 2024

Jawaban Calon Wali Kota Nomor Urut 2 Terkait Banjir yang Jadi Masalah Klasik di Samarinda

Koresponden:
diksi redaksi
Sabtu, 17 Oktober 2020 8:46

Warga saat menggunakan perahu untuk melintas ketika banjir terjadi di Samarinda beberapa waktu lalu/ Tirto.id

DIKSI.CO, SAMARINDABanjir masih jadi persoalan klasik di Samarinda yang hingga 2020 ini masih belum tuntas.

Beberapa upaya dilakukan, termasuk diantaranya pengerukan dan normalisasi Sungai Karang Mumus yang dilakukan sampai saat ini.

Penyelesaian banjir jadi satu dari masalah wajib terselesaikan yang selalu jadi pekerjaan rumah bagi siapapun kepala daerah yang menjabat dan memimpin Samarinda.

Hal ini pun juga pernah dijawab Andi Harun, salah satu tokoh yang pada 2020 ini maju sebagai calon wali kota Samarinda berpasangan dengan Rusmadi Wongso.

Di Pilkada Samarinda 2020, Andi Harun-Rusmadi diketahui dapatkan nomor urut 2.

Ia pun membenarkan bahwa penyelesaian banjir adalah hal utama yang ia dengar dari masyarakat, untuk diutamakan agar terselesaikan.

“Kami lakukan survei di 2019. Dari sana, ada 3 masalah fundamental yang diinginkan masyarakat untuk jadi prioritas terselesaikan. Tiga masalah itu adalah banjir, tata kota dan lapangan pekerjaan,” ujar Andi Harun saat diwawancara awak media beberapa waktu lalu.

Berangkat dari survei, kemudian Andi Harun lakukan seminar dan Focus Group Discussion (FGD). Pembahasan dengan melibatkan pakar dianggap perlu, agar ketika solusi ditawarkan ke masyarakat, sudah melalui proses ilmiah dan tidak asal menawarkan solusi.

“Dari seminar dan FGD itu kemudian muncul konsep penyelesaian banjir. Kami namakan solusi itu “Membangun Samarinda Tangguh Banjir”. Konsep ini lahir dari hasil penelitian dan studi empiris mengenai karakter banjir kota Samarinda,” ujarnya.

Ia jelaskan, faktor penyebab banjir tentu beragam, di antaranya pengaruh iklim atau cuaca, pengaruh perubahan daerah aliran sungai (DAS), pengaruh mengecilnya kapasitas sungai karena sedimentasi dan sampah, serta hilangnya daerah-daerah tampungan air permukaan karena alih fungsi lahan.

“Pada satu sisi keadaan morfologi kota Samarinda pada bagian hilir itu rendah dan bergelombang khususnya wilayah utara, sedangkan pada bagian hulunya bentuknya berbukit dan juga terdapat daerah patahan khususnya wilayah selatan. Dan pada sisi yang lain perubahan signifikan pada DAS Mahakam dan sub DAS Karang Mumus memaksa kita untuk berani melaksanakan program pengendalian banjir Samarinda yang terintegrasi antara penanganan daerah bagian hulu, bagian tengah, dan bagian hilir,” ujarnya.

Lantas apa yang baru dari penyelesaian banjir oleh Andi Harun-Rusmadi, juga dipaparkan.

Ia menyebut bahwa apa yang sudah berjalan baik dari pemerintahan sebelumnya akan terus dilakukan. Seperti misalnyua pengerukan sedimentasi Bendungan Lempake hingga normalisasi Sungai Karang Mumus.

“Sedangkan dari kami visi dan tekadnya untuk menempatkan pengendalian banjir kota Samarinda pada prioritas utama sejak di tahun pertama,” ujarnya. (*)

 

Apa yang harus dilakukan?

Penyelesaian banjir, diakui tidak serta merta harus dilakukan dengan satu macam cara. Perlu dilakukan upaya berkelanjutan dan terkontrol untuk itu.

Ada Harun juga mahfum. Ia pun jelaskan beberapa solusi yang ia bagi menjadi jangka pendek, menengah dan jangka panjang.

“Jangka panjang adalah normalisasi sungai, sekaligus penataan sungai di Samarinda. Normalisasi sungai ini butuh waktu yang panjang. Berdasarkan SK Wali Kota Samarinda Nomor 32 Tahun 2004, ada 42 sungai di Samarinda,” katanya.

"Kalau kita menunggu selesainya solusi yang bersifat jangka panjang, atau kita mulai dari sana. Pasti nanti masyarakat tidak bisa melihat capaian kita dalam jangka pendek. Jangka menengah dan jangka pendek harus kita lakukan," katanya lagi.

AH menerangkan karakteristik banjir di Samarinda itu adalah banjir kiriman dari daerah hulu. Konsep pertama yang diungkapkannya, adalah dengan memangkas aliran air tersebut. Pemerintah wajib membuat alternatif teknis agar air yang berasal dari hulu tidak masuk ke dalam kota. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan lubang bekas tambang (void) menjadi polder air.

"Karena kalau kita buat polder alami, biayanya sangat besar. Ini juga sebagai langkah mengefisienkan anggaran. Sudah ada lubangnya, daripada selama ini kita salahin-salahin terus terus lubang tambang juga tidak selesai masalahnya. Mau direklamasi pengusahanya sudah lari. Jadi lebih baik kita manfaatkan void itu jadi polder air pengendali banjir," imbuhnya.

Nantinya, di void tersebut dapat menggunakan sistem pintu air atau sistem pompa. Hal ini bisa jadi solusi jangka menengah yang bisa dilakukan.

“Pemerintah bisa libatkan perusahaan tambang untuk membantu pemerintah kota melalui kontribusi pemikiran ataupun terlibat dalam pembiayaan pembuatan polder ini," tegasnya.

Sementara untuk jangka pendek, yakni dengan memaksimalkan normalisasi drainase dan pengendalian sampah.

“Solusi jangka pendek ini juga bisa mengajak perusahaan tambang untuk mengerahkan unit kendaraan dan peralatannya, melakukan normalisasi drainase dan sungai. CSR itu bisa berbentuk biaya, peralatan, maupun tenaga,” katanya. (*)

 

Void Bisa Jadi Destinasi Wisata

Berlanjut ke konsep void sebagai pengendali banjir Samarinda.

Tidak hanya sebagai pengendali banjir, polder air dari void juga bisa dimanfaatkan sebagai agrowisata.

Beberapa void sudah membuktikan, salah satunya adalah void yang masuk dalam KPH Kendilo Paser. Sebuah kolam bekas tambang menjadi tempat rekreasi untuk keluarga. Selain itu, lubang tambang itu juga disulap menjadi sarana olahraga warga.

Selain itu, PT KPC di Kutim juga berhasil menyulap sebuah lubang bekas tambang menjadi wajah baru yang bernilai ekonomis bila dikelola dengan baik.

"Bisa kalau kita mau menginvestasikannya di bidang pariwisata. Itu sudah ada yang terjadi di KHP Kendilo Paser. Lubang eks tambang jadi objek wisata. Di Kutim dalam bentuk lain ada KPC yang juga sangat bagus," papar Andi Harun.

Tidak perlu jauh ke Paser atau Kutim. Di Samarinda, memiliki lubang bekas tambang yang bila disulap menjadi polder air yang berfungsi sebagai pengendali banjir sekaligus tempat rekreasi. Warga mengenalnya dengan nama polder air hitam.

 

Meski memiliki banyak pilihan alternatif. Andi Harun tetap mengingatkan kewajiban perusahaan tambang adalah mereklamasi lubang bekas tambang miliknya. Hal tersebut adalah sebuah kewajiban perusahaan tambang yang harus ditaati.

Namun, masih ada pilihan reklamasi dengan dalam bentuk lain, yang juga tak kalah bermanfaat bila dibuat sedemikian rupa.

"Tanggung jawab utama perusahan tambang tetap mereklamasi kembali lubang tambang mereka. Namun untuk void yang tidak dilakukan secara konvensional, yakni mengembalikan top soil atau lapisan tanah penutup ke lubang tambang. Maka kami akan dorong untuk dilakukan reklamasi dalam bentuk lain, bisa menjadi tambak, objek wisata, bisa sebagai penyedia sumber air baku, dan bisa juga jadi polder pengendali banjir," pungkasnya. (*)

Tag berita:
Berita terkait
breakingnews