DIKSI.CO, SAMARINDA - Setelah Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo resmi mengumumkan lokasi baru calon ibu kota negara (IKN) pada Agustus 2019, seketika itu pula pro kontra mencuat dari berbagai lapisan masyarakat.
Lokasi baru IKN berada di sebagian wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Beberapa waktu berselang, sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengungkapkan temuan kehadiran 162 ragam konsesi di lokasi yang bakal menjadi pengganti DKI Jakarta tersebut.
Mulai sektor tambang, kehutanan, hingga perkebunan sawit.
Data tersebut dihimpun dari laporan bersama sejumlah LSM. Yakni Forest Watch Indonesia (FWI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, Jatam Kaltim, Kelompok Kerja (Pokja) 30, Pokja Pesisir dan Nelayan, Trend Asia, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, dan Walhi Kaltim. Terangkum dalam laporan bertajuk “Ibu Kota Baru untuk Siapa?” yang disusun selama tiga bulan.
Dalam kesempatan wawancara bersama awak media usai menghadiri kegiatan konsultasi publik pada Kamis, (13/8/2020) di Hotel Mercure Samarinda, Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra membantah kabar tersebut.
“Enggak ada itu. Relatif di sini (Kaltim) salah satu alasan dipilih karena tidak banyak masalah,” ujarnya.
Sebagai informasi, kawasan IKN bakal terbagi tiga ring. Kawasan inti yang menjadi pusat pemerintahan sebagai ring satu dengan luas 5.644 hektare. Lalu ring dua 42 ribu hektare yang menjadi kawasan IKN.
Terakhir, ring tiga seluas 133.321 hektare. Sebagai kawasan perluasan IKN. Ketiga ring IKN seluruhanya 180.965 hektare.
Di area itu diklaim terdapat 162 konsesi pertambangan, kehutanan, sawit, PLTU batu bara, hingga properti.
Sebanyak 158 di antarnya adalah batu bara yang masih menyisakan 94 lubang bekas galian.
Kendati begitu ,Wamen Surya Tjandra bersikukuh temuan tersebut tak benar.
“Enggak ada. Sejauh ini kita tahu enggak ada,” tegasnya.
Surya Tjandra pun kembali menegaskan salah satu alasan Kaltim terpilih menjadi IKN lantaran minimnya masalah atau konflik.
Situasi itu salah satu pertimbangkan dari presiden. Kendati demikian, dalam proses pemindahannya bakal dilakukan dengan tanpa tergesa-gesa.
Banyak contoh dari negara lain bahwa memindahkan ibu kota memerlukan waktu panjang.
Semisal Korea Selatan yang memindahkan ibu kota dari Seoul ke Sejong butuh waktu 18 tahun. Sementara Malaysia 12 tahun.
“Jadi memang tidak akan tergesa-gesa. Yang pasti kami butuh masukan dulu, melihat peluang dan tantangannya. Ini mimpi besar. Kan Kalimantan bisa menjadi pusat pembangunan baru. Ini penting untuk Indonesia,” pungkasnya. (tim redaksi Diksi)