DIKSI.CO, SAMARINDA - Sidang kasus rasuah di lingkup Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Timur (Kutim) dengan dua terdakwa rekanan swasta pemberi suap kembali digelar pada Senin (23/11/2020) siang kemarin di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Pada sidang tersebut, terdakwa Aditya Maharani Yuono tak mampu lagi membendung tangisnya. Dihadapan majelis hakim, Ibu dua anak itu mengakui seluruh perbuatannya menyuap Bupati Kutim nonaktif Ismunandar.
"Mau tidak mau saya harus mengikuti aturan yang ada di dalam sistem yang mereka miliki. Mereka meminta saya terjebak untuk memberikan sejumlah uang agar usaha saya tetap berjalan,” ujar terdakwa pemberi gratifikasi itu, dalam agenda sidang pembacaan pledoi atau pembelaan terdakwa.
Di hadapan Ketua Majelis Hakim Agung Sulistiyono, didampingi hakim anggota Joni Kondolele dan Ukar Priyambodo, Aditya Maharani Yuono jadi terdakwa pertama yang diberi kesempatan menyampaikan pembelaannya.
Di awal ucapannya, ia lebih dulu menyampaikan permintaan maaf atas kesalahannya itu. Kendati demikian, di hadapan majelis hakim dan jaksa penuntut umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), direktur PT Turangga Triditya Perkasa ini meminta agar diberikan keringanan hukuman.
Dalam pembelaannya, Aditya Maharani Youno mengaku dirinya selama ini terjebak dengan kondisi lingkungan pemerintahan yang tidak bersih, di bawah kepemimpinan Ismunandar.
Dia terpaksa memberikan uang dengan jumlah besar kepada Ismunandar, atas permintaan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda), Musyaffa, dan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Suriansyah. Permintaan itu terpaksa diberikan, agar usahanya tetap berjalan demi menghidupi keluarganya.
Dalam pembacaan pledoinya, ibu dua anak ini nampak menangis. Dengan terisak-isak ia meminta kepada majelis hakim agar dapat meringankan hukumannya, mengingat dirinya memiliki dua orang anak yang harus dia rawat. Selama enam bulan pasca ia ditahan, sang anak harus dirawat oleh orang tuanya.
Dengan suara parau, Aditya Maharani Yuono melanjutkan bacaan nota pembelaan miliknya. Dia mengatakan, dirinya memiliki rasa cinta dan ingin membangun Kutim. Rasa cinta itu, lanjut dia, dibuktikan dengan selalu menyarankan kepada Pemkab Kutim untuk membangun infrastruktur di sejumlah daerah yang minim pembangunan.
Contohnya, adalah enam proyek pembangunan infrastruktur yang dia kerjakan, merupakan hasil dari usulan dirinya. Selain itu, dia mengaku harus dihadapkan beban utang, dikarenakan Pemkab Kutim belum membayar hasil proyek yang telah selesai dia kerjakan. Dalam hal ini, Pemkab Kutim masih memiliki utang kepada dirinya senilai Rp20 miliar.
“Yang baru dibayar Rp8 miliar. Sedangkan saya selama mengerjakan proyek, harus mencarikan uang dahulu, dengan cara meminjam,” ungkapnya.
Setelah Aditya Maharani Yuono menyampaikan pembelaannya, Agung Sulistiyono memberikan JPU kesempatan untuk menyampaikan tanggapan atas pembelaan terdakwa.
“Kami tetap pada tuntutan kami yang mulia,” singkat salah satu JPU.
Atas tanggapan itu, majelis hakim kemudian menyampaikan kepada terdakwa, bahwa sidang akan kembali dilanjutkan pada Senin (30/11/2020) mendatang dengan agenda putusan.
“Sepekan ini, kami majelis hakim akan bermusyawarah. Sidang akan dilanjutkan pekan depan, dengan agenda putusan. Sidang di tutup,” tutup Agung Sulistiyono sembari mengetuk palu.
Selanjutnya, giliran terdakwa Deki Aryanto yang duduk di kursi pesakitan untuk menyampaikan nota pembelaannya. Di hadapan Majelis Hakim, Direktur CV Nulaza Karya itu mengaku telah melakukan tindakan suap dan menyesali seluruh perbuatannya.
“Sedari awal saya menjalani usaha, semata-mata untuk memberikan nafkah istri dan orang tua, tanpa memikirkan yang lain-lain. Iktikad saya agar dapat bermanfaat bagi keluarga, syukur-syukur apabila bermanfaat bagi negara,” terangnya.
Deki mengatakan, awalnya dia hanya ingin mematuhi apa yang menjadi perintah seniornya di organisasi kemahasiswaan, yakni Musyaffa. Namun kepatuhanya itu justru membuatnya tersesat ke dalam lingkaran Ismunandar cs.
Pemberian sejumlah uang guna mendapatkan pekerjaan proyek pembangunan infrastruktur, disebutnya semua atas dasar perintah Musyaffa. Berjalannya waktu, ia merasa terjebak di dalam lingkaran tersebut. Sehingga mau tidak mau, harus melakukan tindakan itu, agar usahanya tetap berjalan.
“Dan ternyata kepatuhan saya begitu keliru. Untuk itu saya mengakui salah, dalam berbuat ataupun tindakan. Saya memohon maaf,” sambungnya.
Lanjut Deki, setelah menjalani proses hukum ini barulah dirinya menyadari, selama ini ia hanya diperalat oleh Musyaffa.
“Saya mengaku salah karena melakukan perbuatan hina demi kepentingan pribadinya Musyaffa,” ucapnya.
Di sesi akhir, Deki meminta agar majelis hakim dapat meringankan hukumannya. Mengingat dirinya sebagai kepala rumah tangga memiliki tanggung jawab untuk menghidupi anak dan istrinya.
“Saya berjanji untuk tidak mengulanginya kembali. Mengingat saya selaku kepala rumah tangga, bertanggung jawab atas anak, istri dan orang tua. Untuk itu saya memohon agar hukuman saya diringankan dari majelis hakim,” tandasnya.
Atas pembelaan yang disampaikan Terdakwa, Majelis Hakim kemudian memberikan JPU untuk menyampaikan tanggapannya.
“Terkait pledoi yang disampaikan terdakwa, kami tetap dengan tuntutan semula yang mulia,” singkat salah satu JPU.
“Baik, JPU tetap pada tuntutannya ya. Karena begitu, majelis hakim akan bermusyawarah dahulu. Untuk sidang putusan dilanjutkan pada Senin (30/11/2020). Untuk terdakwa tetap berada di tahanan. Sidang ditutup,” tutup Agung Sulistiyono ditandai suara keras dari ketukan palu.
Untuk diketahui terdakwa Aditya Maharani Yuono yang dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang (UU) 31/1999 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Dituntut hukuman pidana berupa 2 tahun kurungan penjara disertai denda Rp 250 juta subsider kurungan penjara selama enam bulan.
Sementara itu, untuk terdakwa Deki Aryanto, JPU menjatuhkan tuntutan 2 tahun 6 bulan kurungan penjara. Disertai denda Rp 250 juta subsider enam bulan kurungan penjara. Deki Aryanto dikenakan Pasal 5 ayat 1 huruf a UU 31/1999 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP atau kedua, Pasal 13 UU 31/1999 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. (tim redaksi Diksi)