DIKSI.CO, SAMARINDA - Visi misi terkait penanganan banjir di Samarinda dinilai sentral dalam merebut hati masyarakat dalam kontestasi di Pilkada Samarinda.
Hal ini dinilai dikarenakan banjir adalah masalah utama yang dinilai harus segera terselesaikan, siapapun yang menjabat.
Selain itu, kepemimpinan kuat juga dibutuhkan dalam proses penanganan banjir. Dua hal itu dinilai haruslah sinkron, yakni visi dan misi, serta kemampuan para paslon dalam menjaga visi misi mereka dalam proses pengerjaan pengendalian banjir di Kota Tepian.
Dikutip dari prokal.co, dosen Fahutan Unmul Bernaulus Saragih, paslon dengan visi-misi terbaik dalam melepaskan Samarinda dari belenggu banjir akan melenggang ke Balai Kota. Alias memenangkan kontestasi pilkada.
“Sebab, masyarakat Samarinda sudah bosan dengan permasalahan banjir yang terus terjadi dan mengganggu perekonomian,” ujar dia.
Apalagi, sambung dia, bila pemilik hak suara adalah kaum rasionalis dan idealis. Namun, bisa dipastikan bahwa dua kelompok pemilih itu belum menjadi bagian dari mayoritas penduduk Kota Tepian. Kelompok mayoritas, kata Bernaulus, masih pemilih pragmatis yang sangat mudah dipengaruhi isu kekerabatan, agama, dan berbagai bentuk fasilitas serta fulus paslon.
Bernaulus menyebut, visi-misi terbaik tentunya yang rasional, terukur, dan tidak muluk-muluk. Mengapa urusan banjir menjadi tema sentral? “Sebab, banjir di Samarinda mengindikasikan beberapa kegagalan pemerintahan sebelumnya. Maka warga tentu ingin pemimpin yang berbeda,” urai Bernaulus.
Paslon dengan pemahaman banjir dan sebab musababnya serta mampu mengoordinasikan kabupaten/kota lainnya dengan provinsi dan pusat adalah figur yang diinginkan masyarakat. Artinya, Samarinda memerlukan kepemimpinan yang kuat.
“Karena jelas masalah banjir bukan sekadar masalah Pemkot Samarinda semata, tetapi ada setidaknya Kukar, Pemprov Kaltim, dan pemerintah pusat beserta pihak swasta dan masyarakat yang turut berperan dalam menuntaskan banjir,” jelas dia.
Paslon haruslah yang memiliki kemampuan memobilisasi sumber daya. Terutama terkait investasi untuk menyelesaikan banjir melalui berbagai skema. Dari satu sisi, banjir adalah alat tawar pemkot ke pemprov dan pusat. Kemampuan lobi diperlukan untuk meyakinkan pemerintah di level atas agar lebih peduli dengan kota yang dulunya penyumbang devisa besar dari kayu lapis ini.
“Paslon yang memiliki jaringan dan pengalaman serta pergaulan tingkat nasional akan lebih memudahkan mobilisasi sumber daya dalam penanggulangan banjir. Karena jelas bahwa jika hanya mengandalkan APBD kota, tidak akan memadai,” terang Bernaulus.
Pemimpin harus bisa memantik masyarakat untuk berpartisipasi secara sukarela membenahi kota. Membangunkan modal sosial yang masih tidur ini perlu keteladanan dan bukti yang kuat dari pemimpin.
“Singapura bermula dari rawa, tanpa sumber daya memadai, tetapi tekad yang kuat dan bersih dari seorang Lee Kwan Yu (perdana menteri dari tahun 1959–1990) tak perlu seratus tahun menjadikan Singapura sebagai negara maju dan salah satu yang terkaya di dunia,” kata Bernaulus.
Sementara itu, dari dari wawancara dengan salah satu kandidat Pilkada Samarinda, Andi Harun sempat paparkan konsepnya dalam penanganan banjir di Samarinda.
Ia pun membenarkan bahwa penyelesaian banjir adalah hal utama yang ia dengar dari masyarakat, untuk diutamakan agar terselesaikan.
“Kami lakukan survei di 2019. Dari sana, ada 3 masalah fundamental yang diinginkan masyarakat untuk jadi prioritas terselesaikan. Tiga masalah itu adalah banjir, tata kota dan lapangan pekerjaan,” ujar Andi Harun saat diwawancara awak media beberapa waktu lalu.
Berangkat dari survei, kemudian Andi Harun lakukan seminar dan Focus Group Discussion (FGD). Pembahasan dengan melibatkan pakar dianggap perlu, agar ketika solusi ditawarkan ke masyarakat, sudah melalui proses ilmiah dan tidak asal menawarkan solusi.
“Dari seminar dan FGD itu kemudian muncul konsep penyelesaian banjir. Kami namakan solusi itu “Membangun Samarinda Tangguh Banjir”. Konsep ini lahir dari hasil penelitian dan studi empiris mengenai karakter banjir kota Samarinda,” ujarnya.
Ia jelaskan, faktor penyebab banjir tentu beragam, di antaranya pengaruh iklim atau cuaca, pengaruh perubahan daerah aliran sungai (DAS), pengaruh mengecilnya kapasitas sungai karena sedimentasi dan sampah, serta hilangnya daerah-daerah tampungan air permukaan karena alih fungsi lahan.
“Pada satu sisi keadaan morfologi kota Samarinda pada bagian hilir itu rendah dan bergelombang khususnya wilayah utara, sedangkan pada bagian hulunya bentuknya berbukit dan juga terdapat daerah patahan khususnya wilayah selatan. Dan pada sisi yang lain perubahan signifikan pada DAS Mahakam dan sub DAS Karang Mumus memaksa kita untuk berani melaksanakan program pengendalian banjir Samarinda yang terintegrasi antara penanganan daerah bagian hulu, bagian tengah, dan bagian hilir,” ujarnya.
Lantas apa yang baru dari penyelesaian banjir oleh Andi Harun-Rusmadi, juga dipaparkan.
Ia menyebut bahwa apa yang sudah berjalan baik dari pemerintahan sebelumnya akan terus dilakukan. Seperti misalnyua pengerukan sedimentasi Bendungan Lempake hingga normalisasi Sungai Karang Mumus.
“Sedangkan dari kami visi dan tekadnya untuk menempatkan pengendalian banjir kota Samarinda pada prioritas utama sejak di tahun pertama,” ujarnya. (*)
Apa yang harus dilakukan?
Penyelesaian banjir, diakui tidak serta merta harus dilakukan dengan satu macam cara. Perlu dilakukan upaya berkelanjutan dan terkontrol untuk itu.
Ada Harun juga mahfum. Ia pun jelaskan beberapa solusi yang ia bagi menjadi jangka pendek, menengah dan jangka panjang.
“Jangka panjang adalah normalisasi sungai, sekaligus penataan sungai di Samarinda. Normalisasi sungai ini butuh waktu yang panjang. Berdasarkan SK Wali Kota Samarinda Nomor 32 Tahun 2004, ada 42 sungai di Samarinda,” katanya.
"Kalau kita menunggu selesainya solusi yang bersifat jangka panjang, atau kita mulai dari sana. Pasti nanti masyarakat tidak bisa melihat capaian kita dalam jangka pendek. Jangka menengah dan jangka pendek harus kita lakukan," katanya lagi.
AH menerangkan karakteristik banjir di Samarinda itu adalah banjir kiriman dari daerah hulu. Konsep pertama yang diungkapkannya, adalah dengan memangkas aliran air tersebut. Pemerintah wajib membuat alternatif teknis agar air yang berasal dari hulu tidak masuk ke dalam kota. Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan lubang bekas tambang (void) menjadi polder air.
"Karena kalau kita buat polder alami, biayanya sangat besar. Ini juga sebagai langkah mengefisienkan anggaran. Sudah ada lubangnya, daripada selama ini kita salahin-salahin terus terus lubang tambang juga tidak selesai masalahnya. Mau direklamasi pengusahanya sudah lari. Jadi lebih baik kita manfaatkan void itu jadi polder air pengendali banjir," imbuhnya.
Pola penanganan banjir Andi Harun-Rusmadi:
1. Menyiapkan strategi pembiayaan gotong royong, yakni APBD Samarinda, APBD Kaltim dan APBN.
2. Wali Kota dan Wakil Wali Kota menjadi leader dalam penanganan banjir di Samarinda.
3. Memanfaatkan eks lubang tambang (void) sebagai salah satu pengendali banjir.
4. Pembagian pengerjaan penanganan banjir sesuai kategori. Untuk daerah terdampak lama dan parak, gunakan program jangka pendek. Sementara untuk kawasan lain, dilakukan penanganan secara paralel dan berkelanjutan.
Nantinya, di void tersebut dapat menggunakan sistem pintu air atau sistem pompa. Hal ini bisa jadi solusi jangka menengah yang bisa dilakukan.
“Pemerintah bisa libatkan perusahaan tambang untuk membantu pemerintah kota melalui kontribusi pemikiran ataupun terlibat dalam pembiayaan pembuatan polder ini," tegasnya.
Sementara untuk jangka pendek, yakni dengan memaksimalkan normalisasi drainase dan pengendalian sampah.
“Solusi jangka pendek ini juga bisa mengajak perusahaan tambang untuk mengerahkan unit kendaraan dan peralatannya, melakukan normalisasi drainase dan sungai. CSR itu bisa berbentuk biaya, peralatan, maupun tenaga,” katanya. (tim redaksi Diksi)