Soal Dugaan Isu SARA oleh Anggota DPRD Kaltim, Yulianus Henock Ingatkan Norma dan Etika

DIKSI.CO — Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia, Yulianus Henock Sumual turut memberikan tanggapannya soal pernyataan bernuansa SARA yang diduga dilontarkan oleh anggota DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) Abdul Giaz dalam sebuah unggahan di media sosial.
Yulianus Henock menilai peristiwa yang sempat ramai menjadi sororan di Kalimantan Timur ini harus menjadi pelajaran penting bagi seluruh pejabat publik dalam menjaga norma dan etika berkomunikasi.
Dalam pernyataannya kepada media, Henock menegaskan bahwa Indonesia adalah negara dengan keberagaman yang luar biasa—baik suku, agama, ras, maupun budaya—sehingga setiap pemimpin publik wajib berhati-hati dalam menyampaikan pandangan atau opini di ruang terbuka.
“Negara kita terdiri dari multi suku, multi agama, dan harus saling menghormati. Kita harus tetap berpegang pada semboyan Bhinneka Tunggal Ika — berbeda-beda tetapi tetap satu,” ujar Henock, Jumat (17/10/2025).
Menurut senator asal Kalimantan Timur itu, seorang pejabat publik memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga ucapannya di hadapan publik. Apalagi dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat majemuk, pernyataan yang keliru sedikit saja bisa menimbulkan kesalahpahaman, bahkan memicu konflik sosial.
“Pejabat publik harus tetap menjaga norma dan etika dalam komunikasi publik. Setiap kata yang diucapkan harus dipertimbangkan, karena publik melihat dan menilai,” tegas Henock.
Ia menilai, dalam konteks demokrasi yang terbuka seperti saat ini, perbedaan pendapat merupakan hal wajar. Namun, kebebasan berpendapat tidak boleh digunakan untuk merendahkan pihak lain berdasarkan identitas suku atau asal daerah.
“Kita boleh berbeda pandangan, tapi jangan sampai menyinggung unsur SARA. Sekali salah bicara, dampaknya bisa luas,” ujarnya mengingatkan.
Terkait dengan ucapan yang dilontarkan Abdul Giaz yang menyebut istilah “orang luar Kaltim”, Henock memilih melihat persoalan ini secara proporsional. Ia menyebut, dirinya mengenal sosok Abdul Giaz sebagai pribadi yang peduli terhadap persoalan masyarakat dan selama ini dikenal baik dalam berinteraksi.
“Saudara Abdul Giaz sebenarnya yang saya kenal adalah orang yang baik dan peduli terhadap masalah masyarakat. Mungkin beliau tidak bermaksud SARA, hanya keseleo lidah saja,” ujar Henock menambahkan.
Meski begitu, ia menilai pernyataan yang telah menimbulkan kegaduhan publik tetap perlu diluruskan dan dijadikan refleksi bagi semua pejabat, agar lebih berhati-hati saat berbicara di ruang publik.
“Apapun alasannya, seorang pejabat publik harus sadar bahwa setiap perkataannya bisa dikutip, disalahartikan, dan menimbulkan persepsi beragam. Karena itu, kehati-hatian menjadi kunci,” katanya.
Henock juga menyoroti pentingnya etika komunikasi di era digital. Ia menyebut, media sosial kini menjadi ruang yang sangat terbuka bagi siapa saja, termasuk pejabat publik. Karena itu, seorang anggota dewan harus paham bahwa apa pun yang diunggah di platform publik bisa langsung mendapat tanggapan luas dari masyarakat.
“Sekarang ini semua orang bisa melihat, menanggapi, dan membagikan. Jadi setiap pejabat publik harus menimbang-nimbang sebelum berbicara atau menulis sesuatu,” jelasnya.
Menurut Henock, arus informasi yang cepat sering kali membuat orang terjebak dalam spontanitas, sehingga tanpa disadari, kata-kata yang keluar bisa menyinggung kelompok tertentu. Karena itu, ia menilai pentingnya pembekalan komunikasi publik bagi para pejabat, terutama di daerah, agar mampu mengelola pesan dengan baik dan tidak menimbulkan salah tafsir.
“Etika itu pondasi moral pejabat publik. Jangan sampai karena kurang hati-hati berbicara, kemudian menimbulkan kesan buruk yang bisa mencoreng institusi,” ujarnya.
Menanggapi langkah Badan Kehormatan (BK) DPRD Kaltim yang telah memanggil dan mengklarifikasi Abdul Giaz terkait pernyataannya, Henock menilai langkah tersebut sudah tepat sebagai bagian dari mekanisme etik internal lembaga legislatif. Ia berharap kasus ini bisa diselesaikan dengan cara yang bijak, proporsional, dan berorientasi pada pembelajaran bersama.
“Saya kira langkah BK DPRD Kaltim sudah benar untuk meminta klarifikasi. Ini bukan semata soal sanksi, tapi pembelajaran agar ke depan tidak terulang,” kata Henock.
Ia menambahkan, penyelesaian kasus seperti ini sebaiknya tidak hanya berhenti pada pemberian sanksi, tetapi juga diikuti dengan pembinaan dan peningkatan kapasitas komunikasi publik bagi para anggota dewan.
“Kita harus menjadikan peristiwa ini momentum introspeksi. Tidak hanya untuk individu yang bersangkutan, tapi untuk semua pejabat agar lebih berhati-hati,” ujarnya.
Menutup pernyataannya, Yulianus Henock mengajak seluruh masyarakat Kalimantan Timur untuk tetap menjaga semangat persatuan dan kebersamaan, terutama di tengah dinamika sosial dan politik daerah yang semakin kompleks menjelang tahun politik.
“Kaltim ini rumah kita bersama. Jangan biarkan perbedaan membuat kita terpecah. Justru dengan keberagaman inilah kita kuat,” tuturnya.
Ia menegaskan, semangat Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar semboyan, melainkan landasan moral dan kultural bangsa Indonesia yang harus terus dijaga oleh seluruh anak bangsa tanpa terkecuali.
“Mari kita terus jaga nilai-nilai saling menghormati, karena di situlah kekuatan bangsa kita,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Anggota DPRD Kaltim Abdul Giaz membuat ucapan kontroversial beberapa waktu lalu dengan menyebut ‘orang luar Kaltim’. Ucapan Abdul Giaz ini kontan menjadi perhatian dan menimbulkan sejumlah reaksi atas perilaku etik Abdul Giaz sebagai anggota dewan. Desakan kepada Badan Kehormatan DPRD Kaltim akhirnya terus berdatangan.
Pertama sorotan diberikan oleh beberapa jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Solidaritas Wartawan Kaltim (SWK) pada Kamis, 9 Oktober 2025. Kemudian disusul oleh dua tokoh masyarakat, pertama Sudarno yang juga mantan anggota DPRD Kaltim periode 2009-2014 dan Ketua Umum Solidaritas Rakyat Kaltim Bersatu (SRKB), Decky Samuel pada Senin, 13 Oktober 2025.
Dan terakhir dari Aliansi Pemuda Lintas Agama yang terdiri dari GAMKI, Pemuda Katolik, GP Ansor, Pemuda Muhammadiyah, Nasiyatul Aisyiyah, Pemuda Hindu, Pemuda Budha, hingga Pemuda Konghucu pada Selasa 14 Oktober 2025, kemarin. Semuanya merespons, kalau pernyataan Abdu Giaz tentang ‘orang luar Kaltim’ adalah narasi yang tidak etis, diduga berunsur SARA, dan berpotensi memecah belah masyarakat di Kaltim yang berakhir pada konflik horizontal di masyarakat.
Desakan itu akhirnya membuat BK DPRD Kaltim memanggil Abdul Giaz untuk menjalani sidang kode etik di Gedung D DPRD Kaltim pada Rabu, 15 Oktober 2025. Setelah dua jam, Abdul Giaz akhirnya keluar ruang sidang etik, namun saat ditanya awak media, dirinya enggan memberikan komentar.
“Tunggu keputusan BK,” singkat Abdul Giaz meninggalkan awak media dan menuruni elevator gedung D DPRD Kaltim.
(tim redaksi)