Pemerhati Sosial Budaya Dorong agar Pilkada Langsung Dievaluasi, Demokrasi Harus Tetap Tumbuh Tanpa Menyakiti Rakyat
DIKSI.CO – Pemerhati sosial budaya, Mahrus Ali, mengajak publik dan pembuat kebijakan untuk mengevaluasi pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung di Indonesia.
Menurutnya, sistem ini telah banyak menimbulkan dampak negatif seperti biaya politik yang tinggi, konflik sosial, dan maraknya praktik korupsi.
“Demokrasi ibarat taman yang indah. Ia tumbuh dari kesadaran rakyat, disirami kebebasan, dan mekar lewat partisipasi. Namun, seperti taman yang dibiarkan liar, demokrasi kadang menumbuhkan duri di sela bunga,” ujar Mahrus dalam pernyataan tertulis yang diterima media ini, Minggu (10/8).
Mahrus menilai bahwa Pilkada langsung, meskipun menjadi simbol partisipasi rakyat, kini kerap menyisakan persoalan serius.
Biaya politik yang sangat besar, baik dari kas negara maupun kantong pribadi calon, dinilainya menjadi akar dari berbagai praktik transaksional dan korupsi.
Menurutnya, seringkali kepala daerah yang terpilih justru disibukkan dengan upaya mengembalikan modal kampanye, bukan merealisasikan janji kepada rakyat.
“Tak jarang, kepala daerah terpilih bukan sibuk merajut mimpi rakyat, tetapi menghitung cara mengembalikan modal. Bukankah terlalu mahal harga sebuah pesta, bila setelahnya rakyat justru menanggung utang?,” tegasnya.
Selain itu, Pilkada langsung juga disebut memicu konflik horizontal di masyarakat.
Perbedaan pilihan politik kerap memecah belah warga, bahkan merenggangkan hubungan kekeluargaan dan persahabatan.
Sebagai alternatif, Mahrus mengusulkan sistem pemilihan kepala daerah dikembalikan ke mekanisme yang lebih efisien dan terukur.
Ia mendorong agar gubernur ditunjuk langsung oleh presiden berdasarkan rekam jejak dan integritas, sementara bupati dan wali kota dipilih oleh DPRD melalui sidang terbuka dan transparan.
“Demokrasi tetap berdenyut di sana, sebab DPRD adalah wakil rakyat. Prosesnya bisa disaksikan, dikritisi, dan diawasi publik,” jelasnya.
Mekanisme ini, menurut Mahrus, bukan bentuk kemunduran demokrasi, tetapi langkah perbaikan agar demokrasi Indonesia tetap hidup dan bersih dari praktik politik uang.
“Kita bukan sedang mengurangi demokrasi, tetapi sedang memelihara jiwanya agar terus mekar, wangi, dan memberi teduh bagi semua,” tutupnya.
Hingga saat ini, wacana evaluasi Pilkada langsung masih menjadi perdebatan di tingkat nasional.
Sejumlah kalangan menilai sistem ini perlu diperbaiki, sementara sebagian lainnya tetap mendukung pelibatan langsung rakyat dalam memilih pemimpinnya. (*)